Mohon tunggu...
Seno Rocky Pusop
Seno Rocky Pusop Mohon Tunggu... Penulis - @rockyjr.official17

सेनो आर पूसॉप जूनियर

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Uang Lebih Mahal dari Harga Demokrasi

6 Maret 2024   21:06 Diperbarui: 7 Maret 2024   15:27 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar. Wajah Demokrasi Papua (papua.bps.go.id)

Demokrasi telah menjadi sesuatu yang tamak dan tanpa ideologi yang jelas. Pemerintahan tampaknya menjadi aristokrasi, karena para politisi yang berkontestasi dan menang terikat oleh dominasi kekuasaan.

Di tengah merebaknya berbagai tantangan dan perubahan perkembangan demokrasi dan sistem pemerintahan. Kita disuguhkan dengan realita goyahnya bumi Cenderawasih yang tidak bisa terhindarkan dari manipulasi, kapitalisasi, konspirasi dan intrik politik kotor. Namun politik kotor sangat sulit dihindari karena budaya politik yang tidak sehat menjangkiti politisi pribumi.

Aku melihat sejumlah permasalahan spesifik dalam praktik demokrasi di Papua. Pertarungan partisan, tingginya biaya kampanye politik, dan besarnya pengaruh kelompok berkepentingan dan promotor tertentu dipandang sebagai karekteristik sistem politik Indonesia oleh setidaknya sebagian orang Papua yang apatis dan skeptis terhadap pemerintah Indonesia.

Sebab, pendidikan politik yang tidak sehat sudah mengurat akar di Papua. Faktanya, penerapan sistem demokrasi di Papua terus menjadi petaka sehingga menimbulkan permusuhan dan perpecahan karena kepentingan yang lebih berharga dari harkat dan martabat manusia yang seenaknya ditukar dengan rupiah.

Sebagian orang tentu cenderung kritis terhadap politisi dan skeptis terhadap pemerintah. Dewasa ini pandangan orang Papua terhadap pemimpin politik sangat negatif, dan tidak ada harapan untuk perubahan dan perbaikan.

Situasi politik tidak menemukan ketidakpuasan. Ketidakbahagiaan orang Papua muncul saat perhelatan pesta demokrasi berlangsung. Orang Papua terpolarisasi oleh framing politik identitas yang menimbulkan friksi antar orang Papua dan pendatang. Orang Papua mempunyai pandangan negatif terhadap "faksi lain" yakni politik imigran atau politisi pendatang.

Sadisnya, proses demokrasi didominasi oleh kepentingan politik imigran, dibanjiri uang, dan terperosok dalam perang partisan. Pejabat Papua yang terpilih secara luas dianggap egois, berpihak pada "faksi lain", dan tidak efektif. Karena berkolusi dengan faksi imigran, mereka menjadi cukong politik.

Tentu saja dalam proses demokrasi ini orang Papua dirugikan karena bagi pendatang, suara orang Papua bisa dibeli, kita punya uang, sedangkan orang Papua tidak punya modal. Banyak orang Papua yang tergiur dengan politik transaksional dan menjadi tim sukses pendatang. Praktik transaksional ini bahkan dilakukan oleh para politisi pribumi. Akibatnya, sebagian besar kursi parlemen dan birokrasi pemerintahan diisi oleh pendatang.

Kekhawatiran masih terus menghantui pikiran dan bahkan keyakinan orang Papua mengenai kepentingan dan uang yang terlalu banyak berpengaruh terhadap demokrasi. Melihat kenyataan tersebut, aku menilai bahwa demokrasi di Papua hanya sekedar boneka yang bisa dimainkan sesuka hati dan kekuasaan hanya dijalankan oleh segelintir kepentingan besar yang egois, bukan kepentingan rakyat yang harus diperjuangkan dan dilanggengkan.

Yang lebih sadis lagi, kenyataan menunjukkan banyak ruang demokrasi yang dibungkam dengan kekuatan uang. Landasan demokrasi semakin cacat karena membatasi kebabasan berkumpul, berekspresi, berserikat, inklusivitas dan kebebasan politik serta banyak ruang lainnya yang dibatasi.

Karakter orang Papua dibentuk menjadi mentis pecunia atau mentalitas uang, banyak orang terlibat dalam partai politik, banyak orang menjadi pemimpin. Sayangnya, dari waktu ke waktu yang terlintas di benak hanyalah politik uang dan korupsi yang semakin marak di Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun