Saya masih ingat, di salah satu ruangan, pada saat mata kuliah Dogmatika Kristen, tiba-tiba dosen Dr. Sostenes Sumihe masuk ke ruangan dan bertanya.
"Mengapa Anda menjadi seorang Kristen? Apakah Anda menjadi seorang Kristen karena Injil atau faktor keturunan?"
Tak ada satu pun mahasiswa di ruangan itu yang menyahut, semuanya menyengap. Saya mencoba berpikir dan mencari jawaban selekas mungkin.
Pertanyaan ini menyangkut keyakinan dan proporsisi yang merujuk pada sikap tentang apa yang bisa dianggap benar dan salah. Pada hakekatnya, perkara keyakinan bukan sekedar keinginan untuk mengendalikan pikiran dan perasaan, melainkan juga perilaku dan cara pandang umat Kristiani.
Pemahaman dan pandangan yang ambigu mengenai Injil dan keturunan yang mengindikasikan cara pandang kita dalam merespon pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan.
Kebingungan ini menunjukkan adanya pemahaman yang belum serta-merta jelas dalam pikiran kita terhadap penghayatan Kekristenan secara batiniah maupun lahiriah yang bernuansa budaya Papua.
Menurut saya, mempelajari Dogmatika Kristen terkesan agak fanatik dengan pemahaman yang sangat radikal, berbicara tentang detak jantung Kekristenan.
Eksposisi dan interpretasi yang objektif diperlukan untuk memahami pola pikir, sikap dan perilaku yang membentuk karakter budaya Kristen. Terutama dalam kehidupan berjemaat yang mempunyai kognisi dan doktrin untuk menerima dan mempertahankan apa yang baik dan menolak yang menyesatkan.
Melalui pemberitaan Injil Kristus, kita menjadi umat Kristen karena mengalami pertobatan sejati dan mengalami perjumpaan pribadi dengan Kristus adalah keniscayaan yang abstrak.
Sebaliknya, Kristen karena keturunan, bersifat logis. Asalkan bukan karena faktor biologis, melainkan legasi doktrin Kristen yang diajarkan dan diwariskan oleh orang percaya dari segala zaman dan tempat.