Dalam paradigma bergereja, menentukan pilihan dalam kehidupan di tengah jemaat seringkali menjadi tantangan tersendiri. Munculnya pilihan berarti bukan tunggal tetapi plural, bahwa ada banyak pilihan dalam proses menyeimbangkan kepentingan berkompetensi dalam sistem sosial, yang kemudian disebut sebagai politik. Saya mau analogikan dua pemikiran yang berbeda antara politik gereja dan politik berkedok gereja, meskipun sebenarnya merupakan komplikasi dari dua sisi mata uang yang sama.
Supaya tidak disalahpahami, kompleksitas politik gereja itu bersifat subjektif, bisa muncul baik secara internal maupun secara eksternal. Sedangkan politik berkedok gereja adalah politik gereja yang muncul secara eksternal atau berasal dari luar gereja sehingga korelasinya lebih objektif berdasarkan cara pandang dan perilaku dalam kehidupan bergereja dan berpolitik.
Meski terdengar asing di telinga, ada politik berkedok gereja. Istilah ini sering memiliki denotasi negatif, saya menggunakan istilah ini dalam arti dan cakupan yang lebih luas. Ada deviasi dalam berpolitik yang dimulai dengan upaya mencampuradukkan dua sisi yang berbeda, masing-masing politik dan gereja, yang barangkali tidak akan pernah sejalan. Hal ini akan berakibat fatal dan bisa disebut sinkretisme yang justru berimbas pada kehancuran total.
Mengulik realitas Papua di tengah masifnya situasi dan kondisi daerah yang mengenyam dan mempraktikkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sikap politik para pemimpin kita cenderung bertopeng, dengan mengidentifikasikan diri sebagai jemaat, kader atau pemimpin gereja ini dan gereja itu. Pengaruh pemimpin yang berlabel gereja seperti ini seringkali muncul di panggung politik dengan mempublitasi kepentingan tertentu.
Pandangan negatif terkait intrik politik kegerejaan di bumi Papua berawal dari masa pemerintahan otonomi khusus, ketika rakyat merasa berhak dan layak untuk memerintah dan memimpin daerahnya sendiri dan berkembang menjadi tradisi yang buruk dengan merancukan gereja dan politik dengan argumentasi yang lebih rasional untuk kepentingan pribadi (personal interest), kepentingan golongan (group interest) dan kepentingan partai (party interest).
Gereja berjibaku dalam kepentingan politik yang menjadi indikator utama rentannya agama menjadi komoditas politik. Kekuatan gereja dijual secara sembarangan hanya untuk merebut kekuasaan. Keterlibatan gereja dalam politik dianggap keliru, dan sebaliknya kontinuitas politik praktis dianggap kotor dalam menjalankan otoritas serta menentukan kebijakan di dalam keberlangsuangan dan eksistensi gereja. Namun orangnya yang bobrok, bukan gerejanya dan politiknya, karena dianggap salah tempat melakukan manuver.
Munculnya fenomena ini dalam perkembangan dan tuntutan zaman berdampak sangat besar terhadap segala aspek kehidupan jemaat di Papua dalam konteks politik lokal atau politik kedaerahan yang tumbuh dengan pesat, mendorong warga gereja untuk dijadikan konsumtif terhadap apa yang dilihatnya tanpa memandang apakah itu kebutuhan atau keinginan belaka.
Politik yang merambah masuk ke dalam gereja menjadi lahan bisnis para pemimpin gereja yang kerap juga bertopeng dan bersifat bunglon. Lebih parahnya lagi, kehadiran politisi bahkan calon politisi di hadapan jemaat berlagak dengan mengatasnamakan gereja. Seolah-olah apa yang mereka lakukan sesuai dengan syariat agama, retorika dan berorasi mengubah orang miskin, mengupayakan kesejahteraan dan amal saleh sebagai kedok.
Hakikat politik berkedok gereja dalam ulasan ini saya menggunakan istilah, "gereja publik" atau (public church) yang artinya gereja tidak lagi bersembunyi di ruang tertutup melainkan menjelma menjadi fenomena publik di panggung-panggung politik, ekonomi, sosial dan budaya. Penting untuk dicerna bahwa kata politik dalam public church tidak hanya merujuk pada politik elit, politik massa, politik pemerintah tetapi juga politik gereja.
Menariknya fenomena public chruch telah menjadi cikal bakal merembesnya politik berkedok gereja yang marak dan menjamur di wilayah mayoritas Kristen pasca otsus diberikan, ditandai dengan merebaknya berbagai pemekaran daerah otonomi baru yang melahirkan politisi-politsi berlabel gereja dengan berbagai sektarianisme kelompok gereja yang mengusung berbagai bias ideologi, pemikiran, doktrin, sikap, perilaku dan wacana kekristenan.