"Hai Tuan Meneer bagaimana cara yang ampuh agar kami bisa membangun jembatan yang kokoh dan awet?" "Dengan ini!" jawab salah seorang meneer sambil menempelkan jari telunjuknya tepat di kepala orang yang bertanya. Dari dialog tersebut, warga berasumsi bahwa untuk membangun jembatan yang kokoh, maka harus menggunakan kepala manusia.
Tentu tidak ada yang mau kepalanya dijadikan tumbal. Maka munculah dongeng orang potong leher atau lebih tepatnya orang potong kepala untuk mencari tumbal dengan cara menculik dan memenggal kepala.
Padahal bagi para meneer Belanda, saat ia menunjuk kepala, itu berarti menggunakan isi kepala untuk menghasilkan jembatan yang kokoh, alias otak.
Misteri di balik Potong Leher (Potler)Â yang dimulai ratusan tahun lalu kini semakin jelas. Bahwa ternyata penduduk desa di Papua selama ini salah sangka. Dasar bajingan.
Pada masa itu cerita Potler terdengar menyeramkan. Tapi di sisi lain memberikan dampak positif. Terutama istilah ini sering disampaikan oleh orang tua agar kami tidak bermain jauh dari rumah.