Membumbung lalu memutar, setiap sejarah juga jejak jejak puisi luka yang kemudian kembali menjadi serupa tabir, Â yang katanya takdir.
Seperti kita tengah menanam benih benih cinta di ladang anggur, taman taman indah akan tumbuh kemudian, pun ketika jejak luka yang kita torehkan di tubuh daun daun kering, maka kemaraulah yang kelak kita petik.
Aku seperti diingatkan saat dimana lidah pernah mencabik cabik bunga anggrek dan memupus warnanya, pun benih wewangi yang tengah kau renda hangus ku bakar begitu saja.
Akh…
ketulah pun bak bomeraang tak bermata menebas setiap helai angan yang terlarung di sepanjang pematang ; padi pun tak jadi menguning.
Akar mimpi berhamburan meninggalkan arena laga kehidupan, lalu lebur dalam payau.
Adakah airmata mampu memberikan sedikit cahaya ?
atau mungkin kematian yang kemudian menjadi catatan dalam sebuah epitaf?
Entahlah, segalanya masih terekam bak percikan air dalam kolam….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H