Ayahku bekerja sebagai montir di bengkel sepeda kepunyaannya, sehingga sejak kecil saya sudah familiar dengan sepeda. Dia bukan hanya menjadi montir, namun saat sedang tidak ada pelangan, dia sempat membangun sepeda dari beberpaa bagaian jenis sepeda yang berbeda, sehingga memiliki kekhasan nya tersendiri. Hampit tiap hari dia harus membungkuk dan terkadang duduk bngkung untuk memperbaiki roda sepeda.
Saat saya di Tama Kanak-kanak, saya diantar ke sekolah dengan menggunakan sepeda hasil karya Ayah. Â Duduk di boncengan belakang, sambil sesekali melihat punggung ayah. Selain berangkat ke sekolah, terkadang, saya juga diajak jalan-jalan sore menikmati pemandangan alam pedesaan di waktu sore hari. Kenangan indah yang manis untuk dikenang, menikmati waktu bersama Ayah dalam hening dan indahnya alam.Â
Menjelang akhit tahun 2007, saya memutuskan merantau ke Jakarta, untuk  bekerja, dan mencoba perutungan. Setelah dapat mengumpulkan uang, saya akhirnya bisa kredit motor. Saat liburan, saya sempatkan memngajak ayah jalan-jalan. Namun, saat itu saya yang memberikan kesempatan kepada ayah ntuk melihat punggung saya. Saat itu, saya merasakan betapa berat tulang  punggung Ayah dalam menghidupi kami. Saya melihat tulangnya yang sudah mulai tua dan bungkuk. Jika saat itu saya berada dibelakangnya lagi, mngkin hati ini  akan menjerit lebih keras, melihat bentuk tulang punggung yang sudah tidak tegak lagi.
Tidak disangka, itulah pengalaman pertama dan terakhir saya bisa membonceng ayah dengan menggunakan motor baru. Hal ini, akan menjadi kenangan indah yang ditambahkan kepada kenangan masa kecil saya.
Meski belum merasa puas membalas kebaikan Ayah, namun kenangan ini menjadi salah sat hal yang tidak akan saya lupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H