Mohon tunggu...
Marulitua Simb
Marulitua Simb Mohon Tunggu... Freelancer - Sayangi Diri Anda

Penjaga Aset Negara, Menolak kebatilan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Logika Sederhana untuk Menyanggah Pernyataan Andi Surya

3 Desember 2018   12:36 Diperbarui: 3 Desember 2018   15:43 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Andi Surya kembali menyangkal fakta bahwa pemerintah Indonesia telah membayarkan ganti rugi lahan-lahan yang ada dalam Grondlaart ke pemerintah Belanda yang telah lunas pada tahun 2003 silam. 

Salah satu alasan yang ia jadikan sebagai patokan adalah keyakinannya bahwa PT KAI (Persero) tidak memiliki Grondkaart asli. Ia juga mempertanyakan dasar apa yang digunakan oleh Kementerian Keuangan untuk mencicil utang lahan Grondkaart yang notabene wilayah kesatuan Republik Indonesia. Keragian Andi Surya sebenarnya dapat disanggah dengan beberapa logika sederhana.

Logika pertama, PT KAI (Persero) pasti memiliki dokumen Grondkaart asli, terbukti dari beberapa kasus sengketa lahan negara yang dimenangkan oleh PT KAI (Persero). 

Seperti yang kita pahami, pengadilan hanya mau menerima dokumen asli sebagai bukti dalam pemeriksaan, jika yang diberikan hanya salinannya maka tidak mungkin PT KAI (Persero) dimenangkan dalam berbagai kasus. Andi Surya selalu mengatakan bahwa ia ingin melihat Grondkaart dan menantang PT KAI (Persero) untuk menunjukan bukti asli tersebut dihadapannya. Namun yang harus dipahami bersama, PT KAI (Persero) tidak mungkin membawa Grondkaart asli secara sembarangan.

Logika kedua, jika kita pergi ke arsip daerah atau Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk melihat atau membaca arsip yang telah berusia puluhan tahun tentu perlu syarat adimistrasi yang harus dipenuhi, begitupun dengan Grondkaart. Dokumen asli Grondkaart telah berusia ratusan tahun sehingga tidak dapat diakses sembarangan dan perlu perlakuan khusus untuk menjaga keutuhannya, bagaimana jika grondkaart asli rusak saat dipegang oleh umum? Alasan itulah yang mungkin menjadi salah satu pertimbangan bagi PT KAI (Persero) atau PT lainnya yang memiliki Grondkaart untuk tidak menunjukkan Grondkaart kepada khalayak umum.

Logika ketiga, jika Andi Surya benar-benar ingin melihat Grondkaart asli maka seharusnya ia membawa permasalahan ini ke pengadilan. Selain dapat melihat Grondkaadt asli, ia juga dapat menyelesaikan permasalahan lahan warga bantaran rel yang selama ini ia perjuangkan. Poin plusnya, jika ia dapat membuktikan semua pernyataannya selama ini dan memenangkan kasus tersebut maka otomatis warga akan memilih dia kembali tahun 2019 mendatang. Namun jika ternyata tuduhan yang selama ini ia katakan di media ternyata tidak terbukti maka bersiaplah bertanggung jawab.

Selain itu, adanya surat dari Kementerian Keuangan kepada kepala BPN yang terbit pada 24 Januari 1995 turut memperkuat bahwa Grondkaart adalah alas hak yang kuat secara hukum. Dalam surat tersebut dijabarkan bahwa lahan-lahan yang ada dalam Grondkaart adalah kekayaan negara yang dipisahkan sebagai aktiva tetal Perumka. Dalam surat itu juga dijelaskan supaya tidak ada pihak yang menerbitkan sertifikat atas nama pihak lain jika tidak ada izin atau persetujuan dari Menteri Keuangan.

Logika selanjutnya, terbitnya surat tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa Menteri Keuangan memiliki kewenangan dalam pembayaran lahan-lahan yang ada dalam Grondkaart. Jika Andi Surya ingin mengetahui dasar apa yang dimiliki Menteri Keuangan untuk melakukan hal tersebut maka ia perlu mengkaji sejarah dan administrasi tersebut secara lebih mendalam, tentunya dengan melibatkan ahli sejarah yang berkompeten dalam hal itu.

Intinya banyak sejarah negara kita yang belum diketahui oleh masyarakat umum sekalipun, termasuk Andi Surya selaku Anggota DPD RI. Dalam menanggapi hal ini, alangkah baiknya kita mampu bersikap bijak dengan menahan diri untuk tidak memberikan pernyataan menurut pandangan dan pola pikir kita padahal kita sendiri tidak mengetahui fakta yang sebenarnya.

SUR

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun