Mohon tunggu...
Bastanta Permana Sembiring
Bastanta Permana Sembiring Mohon Tunggu... -

Mejuah-juah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karo Bukan Batak: Sekedar Opini dari Saya

7 Oktober 2012   16:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:07 1547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Polemik “Karo Bukan Batak” yang gencar dibahas di media online, dimana pada klimaksnya muncul dari hasil diskusi yang diadakan di Rumah Buku di Padang Bulan, Medan dan di radio online Netherland versi bahasa Indonesia(http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/radioshow/karo-bukan-batak) oleh Juara R. Ginting, dan kemunculan halaman Karo Bukan Batak(https://karobukanbatak.wordpress.com/)ditambah pernyataan yang disampaikan(Karo bukan diturunkan dari Batak/Karo bukan Batak) baru-baru ini oleh seorang budayawan Karo Malem Ukur Ginting(Bp. Sulgam) di acara ragam serumpun yang membahas tentang kebudayaan Karo, setidaknya dua kali penayangan oleh Deli TV - Medan, tak pelak membuat thema ini menjadi perbincangan yang seru di dunia maya. Sontak pro dan kontra bermunculan, namun, sangat disayangkan kalau kita melihat komentar-komentar bermunculan tak jarang mengandung kata-kata yang kurang mengenakkan.

Sesungguhnya, negara kita Indonesia tercinta ini memberikan ruang yang luas untuk berpendapat, dan bahkan memperjuangkan identitasnya yang terlepas dari identitas nasional. Pro dan kontra dari sebuah polemik juga hal yang lumrah, namun kembali sangat disayangkan karena banyak pergunjingan dan tuduhan yang dilontarkan kepada yang pro Karo bukan Batak kalau mereka(Juara, dkk) ini sebagai provokator, memecah belah, perusak ketentraman, dan penghianat. Padahal, sesungguhnya jika kita lebih memperhatikan dan mau sedikit mengerti, mereka tidaklah lebih hanya untuk mempertegas identitas mereka sebagai satuan etnis yang utuh dan berdiri sendiri(bukan sub-etnis) dan hendak memperjelas akan asal-usul mereka, serta meluruskan beberapa opini publik yang selama ini terbangun yang menurut mereka jauh dari fakta yang sesungguhnya. Maka pertanyaanya, salah kah yang mereka perjuangkan itu?

Sekali lagi, pro dan kontra hal yang wajar! Bukankah demi kian? Dan, satu hal kalau berdiskusi hendaknya kedua belah pihak saling melontarkan fakta, logika, dan tradisi. Jangan hanya memaksakan tradisi yang kita anut untuk di-iyakan oleh lawan debat kita. Bukan begitu? Kita sering men-cap mereka radikal, provokator, pemecah belah, dan perusak… akan tetapi anehnya kita tidak berani menunjukkan fakta dan hanya memaksakan tradisi dan opini publik yang kita anut untuk di-aminkan oleh lawan bicara kita. Kalau demikian, bukankah kita yang provokator, perusak, dan pemecah itu? Kita menuduh mereka merusak, memecah, mengganggu… akan tetapi tanpa kita sadari kita telah lebih dari apa yang kita tuduhkan kepada mereka.

Sadar! Bukankah mereka mengajukan fakta, logika, dan tradisi kalau “Karo Bukan Batak”, kemudian, mana fakta, logika yang menunjukkan Karo adalah Batak? Bukankah yang selama ini diajukan hanyalah tradisi(silsilah Si Raja Batak) dan opini publik? Ini jelas tidak berbanding(adil) jika hanya aspek tradisi yang ditekankan dan dipaksakan mejadi fakta, yang jelas-jelas jika ditinjau dari aspek ruang dan waktu sangat tidak logika dan tidak sejalan. Coba diingat-ingat kembali?

Selanjutnya, kita selalu katakan “jangan mencari perbedaan, karena jika dicari akan banyak perbedaan!” itu statemen yang bagus dan sangat benar. Tetapi, dua hal yang harus kita sadari dan diluruskan, pertama: “Sama buka berarti melebur menjadi satu!” sebab, kalau memang demikian, mengapa tidak sekalian saja kita melebur dalam satu budaya dan identitas nasional? Kenapa harus ada Jawa, Minang,  Karo, Batak, Flores, Irian, dll? Karena, sesungguhnya kita dan para pendiri bangsa ini sadar bahwa kita sangat berbeda dan perbedaan itulah yang membuat kita satu, yakni: dalam cita-cita dan hati kita menuju Indonesia(Bhineka Tunggal Ika) dan hal ini terbukti dalam sejarah bangsa ini, bahwa kapitalis dan komunis, gagal! Kedua: “perbedaan dan perpecahan(permusuhan)” itu dua kata yang sangat berbeda, baik huruf-huruf penyusunya, pelafalan, artian, dan makna. Ingat! Berbeda tidaklah perpecahan. Jadi, walau Karo dan Batak berbeda bukan berarti Sumatera Utara akan kiamat dan pecah, sebab jika kita berfikir demikian, maka kita tak meyakini dan menganut “Bhineka Tunggal Ika!”. Melayu, Jawa, Minang, Karo, Batak, dll berbeda, tetapi bukan perpecahan kita namakan, namun mengapa sekarang kita sangat alergi dengan perbedaan Karo dan Batak? Mengapa kita selalu berbicara solidaritas, persahabatan, persatuan, dan apalah itu, tapi nyata-nyata kita tak sanggup menerima perbedaan! Jadi, dimana solidaritas itu? Apakah bersahabat harus kita sama dalam segala hal? Atau, apakah kalau ingin bersahabat kita harus menjadi mereka ataupun mereka harus jadi kita? Tidak, kan? Kucing dan tikus saja ada yang bersahabat walau ditakdirkan sebagai mangsa dan pemangsa, mengapa kita sangat alergi dengan perbedaan? Jadi, sesungguhnya masih banyak hal yang ingin saya utarakan, akan tetapi tidaklah saya rasa enak, karena akan di-cap juga provokator dikemudian hari. Jadi, sebenarnya yang hendak ingin saya sampaikan adalah, hendaknya kalau berdiskusi salinglah menghargai dan melontarkan fakta, logika, dan tradisi agar ada titik terang dari apa yang didiskusikan, jangan lantas apa yang didoktrinkan kepada kita itulah yang kita anggap kebenaran yang mutlak. “Kitab Suci Saja Mengandung Tafsiran, Karena Jika Tidak Demikian Dia(kitab suci-red) Tentunya Selalu Tidak Relevan Dengan Zaman (by: Bastanta P. Sembiring/Pa Lagan)."

Mejuah-juah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun