Mohon tunggu...
Ferrari Narotama
Ferrari Narotama Mohon Tunggu... -

javanese (m/26), tapi udah jadi WNI 100%.\r\nskrg udah tamat2 kuliah, dah gak jobless besar2an lg, mulai nulis2 lg lah...\r\ndoa'in biar cepet kuliah lg y :D

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Polisi: Maling Teriak Maling

14 Juli 2011   08:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:41 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini kemuakanku kepada para penegak hukum terutama terhadap aparat yang bernama POLISI semakin menjadi. Ada saja tingkah laku para bapak-bapak Polisi ini, yang tingkah lakunya tak ubah bagaikan para preman. Setelah pemisahan TNI/POLRI di era reformasi sepertinya Polisi juga mendapatkan angin kebebasan, kebebasan memanfaatkan dan memutarbalikkan hukum demi kepentingan serta keuntungan lembaga tersebut.

Seringkali dijumpai prilaku para aparat penegak hukum di sekitar lingkunganku yang memang tak ubahnya seperti preman. Pada suatu saat di warung makan, aku melihat para Polisi ini datang, memesan makanan, makan dengan rakusnya, lalu pergi begitu saja tanpa membayar atau sekedar ucapan terima kasih kepada pemilik warung. Dan sering kali kejadian ini kulihat lagi terjadi di tempat dan waktu yang berbeda. Para Polisi ini mengangap bahwa diri mereka adalah penjaga keamanan yang harus diservice dan terus diberi upeti. Lalu apa beda mereka dengan para preman? Beda tipis, karena POLISI yang punya hukum dan pistol.

Agresifitas prilaku Polisi yang mudah dilihat tentunya di jalan raya. Para POLISI LANTAS, walaupun tidak bertugas dengan pistol tapi mereka punya surat sakti, yaitu surat tilang. Dengan sedikit acaman dan bayangan rumit proses hukum di mata para pelanggar lalu lintas membuat mereka menempuh jalan pintas, ‘damai-damai sajalah Pak!’. Kisah ini pasti sudah berkali-kali kita dengar atau alami sendiri. Dengan berlindung di balik seragam mereka mengancam dan mengambil apa saja tanpa pernah kenal kenyang.

Kalau saja di luar Kantor para Polisi sudah sedemikian beringas, apa lagi di dalam Kantornya. Temanku yang pernah masuk bui POLSEK menceritakan tentang kisahnya di dalam sel, bahwa di dalam hotel prodeo itu adalah kisah hidupnya yang paling mengerikan dan bersumpah tidak mau lagi mampir ke dalamnya. Mungkin ada bagus untuknya karena dia sadar tidak mau berusan dengan pelanggaran hukum, tetapi tabiat para aparat kadang di luar akal sehat kemanusiaan. Dia bercerita bahwa suatu malam para tahanan yang satu sel dengannya dibangunkan dan disuruh telanjang, entah dengan maksud apa, setelah melakukan itu Pak Polisi tersebut tertawa terbahak-bahak dan pergi begitu saja. Mungkin masih banyak kisah lagi yang membuat kita miris dengan penangan hukum di negeri kita ini.

Ada kasus salah tangkap, seperti kasus Budi Harjono yang disangka aparat membunuh ayahnya sendiri walau tanpa bukti yang cukup. Di Kantor Polisi semuanya menjadi sangat mengerikan, Budi dipaksa, diancam, dan disiksa untuk mengakui kesalahan yang tak pernah dia lakukan. Ibu Budi Harjono yang sudah cukup tua pun tak luput dari ancaman di sarang para preman tersebut. Bayangkanlah kalau kita yang menjadi objek salah tangkap tersebut, pastilah sangatlah mengerikan…

Apalagi bila ada demonstrasi mahasiswa atau kejadian para pembawa mayat dari Ponpes Umar Bin Khattab, mereka memukul dan menendang, berteriak-teriak dan mengancam, seperti tidak ada prosedur dengan etika profesionalisme dalam menghadapi suatu kejadian , dengan kata lain tak ada ubahnya mereka seperti preman. Tapi Polisi sangat berbeda memperlakukan para penjahat kelas teri dengan para mafia-mafia. Mungkin karena beda tebal kantongnya, Gayus saja di Markas BRIMOB bisa keluar masuk jalan-jalan ke luar negeri dengan bebasnya. Hukum kita selalu tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Dan sekarang Lembaga ini menolak untuk diperiksa dan membuka rekening-rekening gendut para Pejabat-Pejabatnya. Kalau Ponpes Umar Bin Khattab saja yang menolak membuka diri atas kasus bom langsung digrebek, kenapa Mabes POLRI yang tak mau membuka diri tidak diobrak-abrik saja. Bila ada yang ditutup-tutupi pasti ada yang tidak benar dibalik. Bila POLISI ingin berubah menjadi lembaga yang lebih baik pasti mereka akan membongkarnya, namun bila mereka menutup-nutupinya mungkin mereka merasa lebih nyaman dan menguntungkan di masa yang seperti ini. Atau ada kepentingan yang lebih besar lagi dibalik ini?

Dengan senjata yang mereka bawa-bawa dan berlindung di balik dinding hukum, mereka mendapatkan imunitas yang tak terbayangkan. Mereka bisa saja mengejar kita, memukul tanpa rasa bersalah, dan pergi begitu saja tanpa rasa sesal. Apakah kita bisa menyerahkan semuanya ke tangan hukum di tengah kondisi penegakkan keadilan yang tak memandang kemanusian secara beradab? Sepertinya kita harus jaga jarak dengan para penegak hukum ini, kalau tidak ada perlunya kita lebih baik tidak usah berurusan dengan mereka, seperti anekdot yang sudah berkali-kali diucapkan ‘kalau kita kehilangan kambing, lapor ke Kantor Polisi kita malah bisa kehilangan sapi…’.

Sekarang mereka memang tidak lagi melindungi dan mengayomi masyarakat. Mereka lebih bisa menebarkan teror untuk menakut-nakuti masyarakat. Ya, seperti para preman yang nenteng-nenteng beceng, yang bisanya teriak MALING, padahal dia juga MALING…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun