Berbagai pajak meningkat, ada yang sampai mendekati 300 %, seperti PBB. Belum tahu berapa kenaikan pajak kendaraan. Pembayaran tol juga akan dikenakan pajak nilai tambah. Padahal, seyogyanya, jalan tol adalah pelengkap jalan umum yang seharusnya dibangun oleh pemerintah. Bila secara sistem pembayaran tol dibebani pajak nilai tambah, maka penggunaan barang yang dibangun dari pajak rakyat dipajak lagi berarti telah terjadi doubble taxation. Sekarang terlihat jalan tol telah membiaya sendiri, tetapi modal awalnya dari APBN juga. Terlihat bahwa perencana sistem pajak ini tidak memiliki konsep pajak yang tepat. Sebagaimana disebut, pada prinsipnya, jalan tol adalah pelengkap jalan umum, dan hasil jalan tol seyogyanya sebagian harus digunakan untuk membangun jalan umum, yang merupakan public goods. Tetapi sekarang perusahaan jalan tol lebih bersifat otonom di dalam sistem jalan umum nasional. Ini dapat dianggap penyimpangan secara prinsip.
Pajak adalah pembayaran penggunaan barang dan pelayanan publik yang diterima masyarakat. Berarti sejak awal orang harus melihat ketepatan antara pajak dan pelayanan publik. Lihat saja tentang PBB di Jakarta. Di seluruh dunia pajak ini digunakan untuk membangun pelayanan lokal, seperti pembangunan jaringan jalan, angkutan publik, kebersihan lingkungan, pengendalian banjir, situasi keamanan, dan sebagainya. Lihatlah Jakarta yang tiap hari macet, penyebabnya tidak lain bermula dari dua faktor: luas permukaan jalan hanya 6,5% yang amat jauh di bawah kota-kota besar dunia yang berkisar antara 15% sampai 25%. Pada saat yang sama angkutan umum tidak tersedia dengan memadai. Belum lagi banjir yang terus berulang. Lalu di mana kesetaraan antara pelayanan publik dengan pembayaran pajak? Memang dosa Jakarta yang parah sebagian adalah warisan pemerintah sejak dulu. Ali Sadikin mempunyai tempat tersendiri, tetapi dia mewarisi DKI-Jakarta yang tidak memiliki rencana tata-kota yang baik dan tetap, seperti rencana jaringan jalan yang baik dan mencukupi seperti luas permukaan jalanya serta rencana sistem drainase yang selalu harus disesuaikan dengan perkembangan volume air permukaan limpahan dari daerah terbangun saat hujan. Demikian juga seharusnya telah ditentukan di mana lokasi pemukiman, lokasi pusat-pusat kegiatan, lokasi pusat pelayanan lain yang banyak sejak dari semua jenis sekolah dari segala tingkatan, pasar, jalur hijau, tempat parkir, jalur angkutan umum, dan sebagainya. Alokasi tata-guna tanah terkait harus sudah tetap, tidak lagi dapat dirobah semaunya, sebab hal ini menjadi sumber dari ketidakpastian. Itu semua adalah barang publik dan pelayanan umum.
Secara nasional, sistem pajak haruslah mendukung keadilan, di mana menurut prinsip ekonomi setiap penghasilan harus dikenakan tarif pajak yang sama. Ada pembagian besar pajak dalam kelompok pajak penghasilan dan pajak nilai tambah. Dari prinsip ekonomi, tarif pajak nilai tambah harus sama, sehingga tidak akan menyebabkan distorsi harga, yang memicu misalokasi pajak, yang bermuara pada misalokasi sumber daya, yang bermuara pada kinerja ekonomi yang lebih rendah. Memang ada yang menentang sebab pajak orang miskin dengan orang kaya sama. Tetapi untuk itu ada instrumen fiskal juga. Di dalam kelompok pajak penghasilan yang terkait pada orang dan perusahaan, maka prinsip vital ialah bahwa semua penghasilan harus diperlakukan sama. Distorsi yang ada dalam sistem Indonesia saat ini ialah adanya kelompok penghasilan yang dikenai pajak final, dan ini membawa ramifikasi distortif, yang antara lain ialah adanya penghasilan kegiatan yang lebih rendah pajaknya dibanding dengan sumber penghasilan lain, seperti disebut di atas. Inilah distorsi, dan pada gilirannya akan menyebabkan misalokasi kegiatan, yang pada ahirnya menghasilkan kinerja ekonomi yang lebih rendah. Menkeu Chatib Basri pernah berkata: "penghasilan lembaga keuangan besar, tetapi pajaknya kecil." Pernyatan ini adalah merupakan pucak gunung es kesalahan sistem pajak di Indonesia. Di luar adanya usaha tax evasion atau tax avoidance, hal ini dapat ditelusuri bersumber dari sistem pajak yang memang tidak tepat, sistem pajak distorsif. Uraian masalah ini sangat panjang, sebab orang perlu membicarakan masing-masing komponen pajak lalu mengaitkannya dengan kegiatan terkait.
Yang menjadi masalah lain ialah bahwa antara sistem fiskal dan moneter dapat saling mempengaruhi. Ambila saja sebagai contoh praktek akuntansi: mark to market (MTM). Dengan kenaikan harga aset tertentu, nilai aset itu akan dapat sangat tinggi, sehingga saat digunakan sebagai agunan, dia akan memperoleh kredit besar. Tetapi prospek usahanya belum tentu seimbang dengan kredit yang meningkat itu. Di sinilah perlu ditingkatkan peran sistem pajak terhadap penentuan nilai ekonomi aset perusahaan. Kenaikan PBB akan mendorong harga properti yang meningkat. Berarti pemerintah turut ambil peran dalam proses peningkatan harga properti, yang belum tentu produktif dalam kegiatan ekonomi, tapi dapat berpengaruh besar untuk meningkatkan perolehan kredit dari bank. Pada akhirnya pemerintah turut meningkatkan pemberian  kredit yang seyogyanya memang tidak produktif. Ini tidak lain akan bermuara pada pemburukan kinerja ekonomi. Dari penelusuruan saya tentang perkembangan PDB sejak tahun 2005, sektor non-tradable goods bertumbuh lebih tinggi dari sektor tradable-goods berpotensi hasilkan devisa. Dari teori ekonomi hal ini membentuk nilai tukar fundamental ekonomi yang menurun, seperti yang terjadi. Bila pengelolaan sistem pajak dan moneter telah tepat, distorsi ini sebenarnya dapat dihindari. Memang ada kekuatan pasar pada nilai tukar, akibat dari masuknya modal luar seperti akibat dari "carry trade", tetapi hal itu akan dapat dibenahi ke arah ekonomi yang lebih sehat, bila interaksi kebijakan fiskal dan moneter telah mengalami koordinasi. Tetapi saya menduga bahwa para pejabat terkait kurang memahami isu itu dan ada yang mengandalkan "instant knowledge" dari entah sumber mana, seperti makanan instan yang berarti tidak sehat, dan ini tidak sehat bagi pengelolaan ekonomi bangsa.
Dari sekian yang saya tuliskan di sini, pejabat terkait Indonesia kelihatannya belum mempertimbangkan hal-hal tersebut, di mana bila terjadi krisis akan menjadi masalah besar lalu kembali membebani rakyat. Koordinasi sistem fiskal dan moneter masih jauh dari kenyataan, di mana BI berlindung di balik "independensi" bank sentral, walaupunsecara formal katanya telah ada. Sebagian dari isu ini telah saya tulis dalam sau majalah perbankan terkemuka di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI