Dalam salah satu artikel berikut dalam Kompasiana penulis, ada yang berjudul: Pantai Sebagai Barang Publik: Kembalikan Ancol. Artikel itu mengacu pada buku pertanahan yang diterbitkan oleh CPIS (Center for Policy and Implementation Studies), lembaga yang didirikan oleh bapak-bapak: Prof Wijoyo, Prof Ali Wardhana, Prof Sumarlin, dan Prof Saleh Affif. Buku itu adalah hasil studi literarur serta lapangan seperlunya, tentang pengadaan tanah untuk kepentingan proyek pemerintah atau untuk kepentingan umum. Kebetulan yang ditunjuk sebagai pelaksana adalah penulis.
Studi literatur yang digunakan tidak lain ialah UUPA No 5 tahun 1960, dan dilengkapi oleh ilmu ekonomi pertanahan, sebab yang menjadi masalah vital studi ialah penentuan ganti-rugi tanah yang akan digunakan. Secara konstitusional pasal 33 UUD 1945 adalah landasan dari UUPA tersebut. Demikianlah bahwa tanah adalah bagian dari bumi yang dinyatakan dikuasai negara. Secara prinsipil, sampai sekarang belum ada yang melakukan kajian lebih mendalam tentang arti dari frasa "dikuasai negara".Â
Studi literatur ekonomi menunjukkan bahwa frasa itu dapat dikembalikan pada tokoh ekonomi pasar: Leon Walras. Leon Walras menyatakan bahwa sesuai dengan situasinya maka tanah harus dikeluarkan dari pasar, sebab bila tidak justru akan merusak ekonomi pasar itu sendiri. Dalam kaitan ini, berhubung (kalau tidak salah) diduga keras yang mengajukan pasal 33 itu adalah Bung Hatta, maka menurut penulis, ide frasa "dikuasai oleh negara", maka usul itu terkait dengan tuntutan Walras, agar tanah tidak masuk dalam ekonomi pasar sehingga dikeluarkan melalui penguasaan negara. Dalam ruang lingkup tanah yang luas itu, tulisan ini akan terfokus pada pantai, bagian kecil dari tanah tapi vital untuk berbagai tujuan yang multidimensi.
Demikianlah sekarang pembicaraan langsung dibawakan pada isu pantai. Pembahasan hal ini tertulis dalam halaman 196 sampai 199 dalam buku Ekonomi Pertanahan terbitan CPIS itu, yang dimulai sejak pembahasan Keppres No 55 tahun 1993. Keppres 55 itu bertentangan dengan Inpres No 9 1973 tentang isu sama, tanah untuk kepentingan umum. Dalam Inpres 9 1973 terdapat 13 kelompok kegiatan tersebut, di mana disebut bahwa kelompok kepentingan umum mencakup kegiatan pariwisata dan rekreasi, sedang dalam Keppres 55 1993, yang mencakup 14 kelompok kegiatan, tidak lagi memasukkan kelompok kegiatan pariwisata dan rekreasi termasuk kepentingan umum. Kelihatannya ada perkembangan isu, di mana pengaruh ekonomi pasar terlihat meningkat sebab kegiatan pariwisata dan rekreasi makin mengemuka sebagai bagian dari ekonomi pasar. Tetapi sebenarnya bukan menyangkut pantai.
Namun dari sudut keilmuan Ekonomi Publik, pantai termasuk dalam kelompok barang publik lokal, seperti ditulis oleh Buchanan, Tiebout, dst. Fakta lapangan di negara maju menunjukkan, bahwa pantai bebas dimasuki oleh semua orang, seperti di Perancis Selatan (pantai Riviera), Jerman, Pantai Los Angeles, Pantai Timur New England, hanya beberapa yang dituliskan. Ini sungguh terasa bertentangan dengan praktek negara Indonesia, di mana pasal 33 UUD45 tegas menyatakan bahwa bumi dan sumber daya alam yang ada didalamnya dikuasai negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Prakteknya, pantai yang adalah SDA justru dalam proses luas privatisasi, untuk kepentingan kelompok kecil pengusaha.
Pantai mempunyai posisi vital dalam kegiatan rekreasi+pariwisata untuk masyarakat bawah, sebab mempunyai arti vital dalam membangun jiwa yang sehat, dan juga pantai bermanfaat untuk mengatasi berbagai penyakit, seperti asthma. Pantai yang bebas dimasuki sungguh berguna dalam pembangunan jiwa bahari melalui kegiatan kelautan seperti berenang. Pantai Ancol yang terlalu berorientasi keuntungan, sulit diharapkan memberi sumbangan positif bagi semua lapisan masyarakat, sehingga tidak membangun nagara bahari. Satu keharusan bagi bangsa Indonesia membuka semua saluran dalam pembangunan kebaharian itu, yang antara lain diperoleh dari kebebasan semua orang terutama anak-anak muda mengalami berbagai kegiatan kelautan di pantai.Â
Sisi negatif lain dari privatisasi pantai ialah potensi ancaman keamanan. Baru-baru ini ada berita penyelundupan dari kawasan pantai sekitar atau berdekatan dengan Pantai Indah Kapuk. Melalui pantai yang dikuasai privat, potensi penyelundukan tidak saja untuk barang-barang biasa, tetapi dapat juga untuk narkoba, atau senjata bagi kegiatan teroris, dan sebagainya. Inilah arti vital dari memelihara pantai sebagai barang publik, barang memenuhi kebutuhan serta kepentingan umum, yang terbuka untuk semua orang, sehingga akan mudah diawasi oleh aparat keamanan.
Tetapi dalam memenuhi kebutuhan pantai bagi pembangunan generasi bahari, untuk Jakarta, kebebasan masuk pantai Ancol adalah satu contoh prioritas bagi bangsa Indonesia, apalagi dalam menunjang "TOL LAUT" dari presiden Jokowi. Privatisati pantai serta reklamasi pantai akan bertentangan dengan pengembangan kelautan yang mendukung pembangunan bangsa BAHARI Indonesia. Makin luas penguasaan privat makin tertutup akses publik ke pantai, berarti akan mengebiri pencapaian sasaran pembangunan bangsa bahari. Sungguh yang terjadi adalah proses meluas privatisasi pemilikan pantai yang menjadi penghambat akses masuk pantai bagi semua orang, berarti menghambat pembangunan bangsa bahari.
Marilah kita bangun bangsa bahari melalui kebebasan masuk semua pantai, dimulai dari Jakarta, mengembalikan Pantai Ancol ke ranah publik yang bebas dimasuki semua orang, terutama anak-anak muda untuk menikmati lagi serta membangun dirinya menjadi orang yang cinta laut. Privatisasi pantai merusak dan menghambat cita-cita itu.
Merdeka dalam Negara Bahari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H