Tidak ada orang yang tidak senang dalam rencana pembangunan pariwisata Samosir, danau Toba. Danau yang mempunyai sejarah dunia dengan posisi tinggi, akibat dari Supervolcano Toba (850 ribu, 500 ribu, dan 75 ribu tahun lalu), yang hanya diungguli oleh Yellowstone di Amerika Serikat. Sebenarnya, hanya dari sejarah ini, posisi pariwisata Danau Toba telah dapat amat menarik, asal ada kemampuan mengelola pemasarannya. Kemampuan pemasaran dapat dilakukan oleh pemerintah pusat.
Dalam hal ini, pemunculan isu danau Toba dan Samosir oleh Menko Maritim, Rizal Ramli, (seorang teman dulu di CPIS bertahun-tahun, juga Sofyan Djalil) dalam pembangunan pariwisata sungguh menggemberikan, terutama bagi saya yang masih kelahiran Samosir. Dua teman ini yang beruntung mempunyai posisi menentukan terkait masalah pembangunan pariwisata, tentu menjadi satu kebanggaan bagi semua alumni CPIS.Â
Namun pemilihan jalan yang ditempuh untuk melaksanakan niat baik itu, melalui pembentukan Badan Otorita barangkali perlu ada sudut pandang lain. Negara kita yang telah melakukan Otonomi Daerah dengan lebih serius sejak Reformasi 1998, tentu merupakan situasi yang perlu kita syukuri, tetapi sekaligus perlu dicermati. Bila sasarannya adalah mencapai pertumbuhan ekonomi tertinggi, hasil yang dicapai Orde Baru, sistem sentralisik telah menunjukkan hasil yang lebih baik dari hasil yang dicapai sejak Reformasi. Bukankah laju pertumbuhan rata-rata per tahun era Orde Baru lebih tinggi dari setelah Reformasi? Bukankah ketimpangan makin mencuat setelah era Reformasi? Tetapi pembangunan negara bukan hanya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, lalu mengabaikan berbagai aspek lain seperti telah ditulis dalam UU Otonomi Daerah. Masalah HAM, masalah hukum, masalah keikutsertaan semua dalam pembangunan, masalah berbagi, dan sebagainya adalah jiwa dari kehidupan benegara. Ini saya kira dalah juga inti dari NAWACITA yang dikumandangkan oleh Jokowi selama kampanye presiden lalu.
Selain itu, studi banding dengan berbagai negara di dunia dalam kaitan dengan Badan Otorita (Special Authority) perlu menjadi acuan. Di Amerika Serikat dapat ditemui banyak lembaga seperti ini. Tetapi dalam garis dasar pembentukannya, maka tingkat pemerintahan yang terlibat paling tinggi adalah State. bukan negara Federal. Untuk Indonesia berarti tingkat paling tinggi seharusnya yang terlibat adalah propinsi, dan bukan pemerintah pusat. Dalam konsepnya yang berlaku di AS misalnya disebutkan tingkat pemerintahan pertama merencanakan lembaga itu adalah pemerintah lokal, atau beberapa pemerintah lokal yang berdampingan dan merumuskannya secara bersama. Ini adalah satu perbandingan, agar kita mempunyai sudut pandang lain.
Kalau tidak salah tahun 2005 ada diskusi tentang federasi fiskal di hotel Salak Bogor, dan saya ditugasi oleh FEUI menjadi salah satu pengarah/nara sumber diskusi. Satu masalah berat waktu itu adalah tuduhan dari utusan-utusan Dati II, yang menyatakan bahwa banyak pelaksanaan Otda makin dikebiri, dengan satu pernyataan keras, menuduh "seolah-oleh pemerintah pusat merasa diri yang paling pintar". Masalah ini muncul akibat revisi UU No 22 tahun 1999 oleh UU No 32 tahun 2004. Pelajaran ini hendaknya perlu disimak agar perasaan seperti itu tidak muncul, apalagi dalam situasi banyaknya potensi goncangan akibat berbagai masalah ekonomi dewasa ini yang bersumber dari situasi ekonomi global.
Rencana pembentukan Otorita serupa telah pernah diusulkan, katanya oleh seorang tokoh vital dan pengusaha. Saya termasuk yang diundang dan kita rapat di daerah Cikini. Saya diundang setelah pelaksana (kalau tidak salah namanya Winfrid) katanya membaca tulisan saya dalam salah satu majalah tentang pemberdayaan komoditi pedesaan, dan disebut bahwa lembaga ini bertujuan sama. Dalam pembicaraan, saya ketahuia bahwa salah satu sasarannya adalah bidang pariwisata. Dalam rapat ke dua, saya dengar ada tilpon dari Medan, dan membicarakan materi rencana tersebut. Lalu saya tanya pelaksana, yang mereka jawab dengan memberi tahu nama penilpon. Dan setelah mendengarnya, saya langsung nyatakan saya tidak akan ikut lagi dalam rencana itu, sebab saya tidak yakin rencana itu tidak ada "udang di balik batunya" berdasarkan kegiatan ekonominya di Sumut. Ini bukan bermaksud menyatakan bahwa Badan Otorita yang diusulkan oleh rekan RR mempunyai udang di balik batu.
Artinya pembentukan Otorita di Samosir telah pernah ada sebelumnya. Namun hingga sekarang memang belum ada SK dari pembentukan Badan Otorita tersebut, tetapi isu yang beredar disebut bahwa akan dibentuk Badan Otorita, seperti yang pernah dinyatakan oleh Menko Maritim Rizal Ramli.Â
Pembentukan lembaga Otorita di luar negeri misalnya adalah sistem transportasi publik Paris, di mana melakukan koordinasi banyak kotamadya dan daerah sekeliling Paris. Ini mempunyai pembenaran di mana sistem transportasi itu adala merupakan kesatuan sistem fisik dalam bentuk jaringan. Dari teorinya, maka sistem transportasi hendaknya dikelola terpadu, sebab wilayah optimal angkutan publik tidaklah berimpit dengan batas administrasi. Dengan jelas materi sistem angkutan publik berbeda dari materi masalah pasiwisata dengan berbagai masalah lokal dan kultur terkait.
Dalam konteks ini, baik dilihat dari materi UU Otda dan perkembangan demokrasi Indonesia, maka lembaga itu bila langsung di bawah pusat sungguh tidak tepat. Itu adalah penghancuran arti otonomi bagi daerah-daerah yang terlibat, terutama Kabupaten Samosir. Tujuan pembanguna tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga masalah keikutsertaan semua lapisan masyarakat serta tingkat pemerintahan. Seperti telah disebut di atas, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia era Orde Baru, justru lebih tinggi dibanding setelah Reformasi. Dan bila Badan Otorita itu terlaksana dengan berbagai programnya, apakah penduduk dan pengusaha lokal akan hanya penonton atau malah akan menjadi "kuli" kegiatan pariwisata yang dapat sungguh "aduhai" dari sisi permodalan dan teknologi? Memang dapat mengundang banyak wisatawan, tetapi dengan dampak lokal yang dapat menyedihkan. Lihat bagaimana kerusakan danau Toba sekarang akibat KERAMBAH yang katanya kebanyakan milik orang luar negeri. Apakah nanti setelah modernisasi pariwisata melalui Badan Otorita akan terjadi hal yang sama?
Sekian sekedar urun rembuk dalam pembangunan bangsa yang sedang dirundung kesulitan ekonomi.Â
Â