Mohon tunggu...
Simanugkalit Rai
Simanugkalit Rai Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Operasi Kerja Polri Harus Sesuai Amanat Konstitusi

9 Mei 2015   06:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:14 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang ditangkap, seolah mengingatkan kita kembali aksi saling berhadapan dan konflik antara Polri dan KPK. Meskipun peristiwa tersebut terasa mendidih dalam wacana publik, namun yang seyogyanya tak terabaikan bahkan jauh lebih krusial adalah terkait seluk-beluk penggunaan kekerasan oleh kepolisian dalam menangani kejahatan. Berkelindan dengan peristiwa tersebut adalah aksi pembunuhan, yang berlanjut dengan bunuh diri, oleh sesama personel Polri di Sumatera Utara beberapa hari lalu. Inti perdebatan tentang kekerasan oleh personel polisi selalu berkutat pada pertanyaan: apakah kekerasan telah melampaui batas (eksesif) sehingga dapat dikategorikan sebagai perilaku brutal, ataukah kekerasan masih dalam standar operasi kerja personel polisi?

Pertanyaan itu muncul sebagai konsekuensi demokratisasi, di mana terjadi pelipatgandaan kepekaan publik terhadap segala hal yang berasosiasi dengan keamanan dan keselamatan masyarakat. Apabila tidak dikelola dengan baik, isu kekerasan di lingkungan kepolisian dipastikan akan mengancam legitimasi lembaga kepolisian di mata publik. Semakin berat jika dikaitkan dengan beban finansial yang dikeluarkan untuk mengobati sasaran maupun personel yang cedera dalam situasi penembakan, termasuk kemungkinan kompensasi yang harus dikeluarkan ketika terbukti bahwa penembakan oleh personel merupakan tindakan yang salah. Hingga kini kajian ilmiah dan pembahasan di Parlemen tentang kekerasan oleh institusi kepolisian di Indonesia belum memadai.

Ironisnya, gambaran situasinya memang ”tidak menguntungkan” pihak kepolisian karena berbagai literatur telanjur menganggap perilaku brutal sebagai satu dari dua subkultur menyimpang di sangat banyak organisasi kepolisian, di samping perilaku koruptif. Terlebih ketika personel polisi menggunakan kekerasan dengan senjata api, pertanyaan ”brutal atau standar” semestinya akan dapat dijawab secara lebih terukur. Ini sekaligus menunjukkan pertanggungjawaban anggaran lembaga kepolisian kepada masyarakat.

Polri harus mampu menjelaskan antara lain jumlah butir peluru yang digunakan, jumlah personel yang menggunakan senjata api, situasi yang melatarbelakangi penggunaan senjata api, ragam dan jumlah sasaran yang terkena tembakan, akibat penembakan pada sasaran dan personel, hingga simpulan mengenai sifat penggunaan senjata api (sesuai standar ataupun penyalahgunaan). Dari simpulan itu, Polri kemudian perlu memaparkan bentuk-bentuk penindakan terhadap personel yang menggunakan senjata apinya di luar ketentuan. Kesungguhan Polri dalam menyajikan informasi mengenai ihwal di atas sudah sepantasnya menjadi unsur penting dalam penilaian kinerja korps Tribrata. Dengan asumsi bahwa persepsi pada gilirannya akan memengaruhi perilaku aktual personel, semakin sering personel polisi menggunakan senjata apinya, semakin patut pula dipertanyakan apa sesungguhnya persepsi para personel tentang situasi maupun orang yang mereka hadapi.

Sangat menarik plus menggelitik apabila potret tentang penggunaan senjata api oleh personel Polri dihadapkan dengan Konstitusi UUD 1945 dan UU Kepolisian Republik Indonesia. Kedua peranti perundang-undangan tersebut secara” ajaib” menguraikan fungsi kerja Polri ke dalam urutan-urutan yang berbeda satu sama lain. Dalam UUD 1945 Pasal 30 ayat 4 disebutkan bahwa ”Kepolisian Negara RI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.

Kata ”serta” dalam ayat ini  mengacu pada KBBI menunjukkan bahwa frase di depan kata tersebut lebih utama daripada frase di belakangnya. Dalam  ayat ini harus dimaknai bahwa dalam menjalankan fungsinya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, kepolisian seharusnya bertugas lebih mengedepankan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat walaupun harus tetap menjalankan penegakan hukum. Sangat berbeda dengan yang termaktub dalam konstitusi, UU RI No 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI Pasal 5 dan Pasal 13 justru menempatkan tugas menegakkan hukum baru kemudian melindungi, mengayomi, melayani masyarakat. Sangat bisa dipahami bahwa dalam menjalankan tugas, doktrin kepolisian lebih berpegang kepada UU No 2/2002 sebagai pijakan operasional.

Dengan begitu, wajah kepolisian lebih maskulin yang penuh kekerasan daripada feminin yang penuh kelembutan sebagaimana amanat konstitusi. Ke depan seraya menunggu pembahasan UU Kita berharap  pada kepolisian yang baru harus kembali ke amanat konstitusi. Kepolisian harus meningkatkan profesionalitas dengan berperan sebagai ”ibu” bagi masyarakat yang mengedepankan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Baru kemudian kepolisian melakukan penegakan hukum kepada anggota masyarakat yang melawan tugas kepolisian yang utama tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun