Beberapa belakangan ini, tersiar kabar bahwa banyak radikalisme menyebar ke kalangan masyarakat. Ditambah lagi adanya situs/website yang menyebarkan paham radikal sehingga membuat pemerintah memblokir situs yang beraliran radikal. Selain itu, paham ISIS yang diduga mulai masuk ke Indonesia. Selama ini kendala terbesar yang dialamai aparat penegak hukum untuk menindak penyebar teror, kebencian dan permusuhan adalah UU Terorisme tidak menghatur pasal yang dapat menjerat kelompok tersebut.
Pemerintah dan DPR berencana merevisi Undang-Undang Terorisme agar dapat menjerat orang-orang yang menyebarkan kebencian dan permusuhan. Jeratan hukum terhadap kelompok penyebar kebencian ini merupakan cara ampuh untuk mencegah tindakan terorisme. Saat ini  marak ceramah, tulisan atau pernyataan orang-orang yang isinya mengganggap pihaknya paling benar dan menganggap kelompok lain termasuk negara atau pemerintah sebagai kafir. Intinya pemerintah mengusulkan agar kegiatan penyebaran kebencian harus masuk dalam kategori tindakan kriminal. Produk UU tersebut lebih bersifat reaktif atau hanya diberlakukan setelah kejadian teror, padahal propaganda mendukung kelompopk teroris seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) banyak dijumpai di media sosial, tetapi sulit dibendung. Belajar  dari negara lain,  untuk mengalahkan terorisme diperlukan tindakan proaktif.
Akibat kelemahan UU ini  aparat kepolisian tidak dapat melakukan upaya hukum terhadap orang-orang yang terbukti melakukan hal tersebut. Sebagai contoh, Narapida Teroris di penjara Nusa Kembangan, Abu Bakar Ba’asyir diketahui telah melakukan ba’iat kepada pengikutnya untuk mendukung ISIS yang belakangan berubah menjadi Daulah Islamiyah alias Negra Islam (IS). Meski pemerintah sudah menolak ISIS dan melarang pengembangan idiologinya di Indonesia, aparat hanya mampu menjerat hukum pendukungnya jika terbukti melakukan tindak pidana. Sementara terkait penyebaran kebencian yang dilakukan Ustad ABB, otoritas penjara tidak berdaya karena regulasinya tidak ada dalam UU Terorisme. Aparat hukum juga tidak mampu melakukan tindakan hukum apapun, walaupun sejumlah anggota masyarakat terbukti melakukan sumpah setia untuk mendukung ISIS secara terbuka.
Kepala BNPT telah mengusulkan beberapa perubahan pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR. Dijelaskan ada beberapa hal yang belum tercakup dalam UU Terorisme, di antaranya mengenai pemidanaan terhadap perbuatan yang mendukung tindak pidana terorisme, perbuatan penyebaran kebencian dan permusuhan, masuknya seseorang ke dalam organisasi terorisme, dan masalah rehabilitasi yang juga belum diatur dalam UU No. 15 tahun 2003. Selain beberapa usulan perubahan tersebut, BNPT juga mengusulkan perubahan lain, yaitu terkait perubahan masa penahanan dari 7 hari menjadi 1 bulan, dan perubahan masa penahanan penyidik dari 4 bulan menjadi 6 bulan. Terorisme sekarang ini merupakan jaringan global, kalau hanya dengan 7 hari waktu proses untuk melaksanakan sosialisasi dalam rangka untuk bisa berkomunikasi efektif dengan para teroris butuh waktu untuk mengungkap kasusnya secara lengkap. Tujuan perubahan waktu penahanan ini, karena pengalaman selama ini penyidik tidak memiliki cukup waktu yang efektif untuk berkomunikasi dengan para tersangka terorisme dan mengungkapkan latar belakang kasus terorisme yang dilakukan tersangka, mengingat kasus terorisme adalah kasus dengan jaringan global.
Menjadi pertanyaan penting saat ini adalah, kapan DPR  bersama pemerintah memiliki waktu untuk membahas revisi UU Terosime, mengingat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015  yang sudah ditetapkan terdapat 37 RUU yang menjadi Prolegnas prioritas tahun 2015. Sedangkan revisi UU Teroris tidak tercakup dalam Prolegnas yang akan dibahas. Menkumham pernah melontarkan ide Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) mengingat kalau mau direvisi harus menunggu tahun depan baru bisa dibahas. Sementara disisi lain, payung hukum yang kuat untuk menghentikan ancaman teroris dirasakan sangat mendesak.
Pemerintah harus segera mengeluarkan Perppu supaya ada payung hukum bagi aparat untuk menindak pelaku teror serta menghentikan penyebaran paham kebencian termasuk menggunakan media sosial. Perppu levelnya sama dengan undang-undang, hanya penggarapannya lebih simpel. Rencana revisi UU Teroris dengan mengeluarkan Perppu juga mendapat dukungan dari Komisi I DPR, hal itu dianggap sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menjadikannya sebagai tonggak gerakan nasional anti radikalisme.  Diharapkan dengan adanya payung hukum yang kuat, Kemenkominfo dapat segera melakukan pemblokiran terhadap situs-situs radikal sehingga pengaruh ISIS di Indonesia paling tidak dapat diminimalisir. ISIS kini bukan ancaman nasional saja, tapi sudah mengancam dunia, gerakan ISIS telah menyebar dan melibatkan banyak warga negara di seluruh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H