Zaman Kegelapan di Lenteng Agung
Pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi yang menyarankan Jokowi-Ahok mengakomodir permintaan demonstran mengganti Lurah Lenteng Agung, Susan Jasmin, adalah wajah nyata birokrasi Indonesia. Alasan penolakan karena perbedaan agama adalah sebuah tamparan besar bagi sistem pemerintahan bangsa ini. Hal ini menunjukkan sistem pemerintahan dan mental birokrat Indonesia sudah rusak parah.
Sudah menjadi rahasia umum bila birokrasi pemerintahan Indonesia adalah berdasarkan like or dislike (suka atau tidak suka). Indikator penilaian dalam sistem like or dislike adalah pribadi atasan. Penilaian pribadi sangat rentan subyektivitas, melibatkan perasaan (mood), kepentingan seorang atasan. Promosi jabatan dilakukan dengan usaha menyenangkan hati dan menuruti atasan bukan kinerja.
Sistem like or dislike pernah terjadi di Eropa yaitu pada masa zaman kegelapan (dark age). Zaman kegelapan adalah masa tersuram dalam sejarah eropa. Setelah kejatuhan Romawi (abad ke-5), dewan gereja berkuasa mutlak dalam sistem hukum dan pemerintahan. Proses pemerintahan diambil berdasarkan keputusan dewan gereja bukan demokrasi. Ilmu ilmu pegetahuan ditolak karena dianggap sebagai hal mistis, sihir, alias menyesatkan. Dampaknya adalah rakyat menjadi bodoh dan terbelakang, buta huruf, hanya sedikit yang bisa membaca, buku-buku menjadi sulit ditemukan. Tidak ada kemajuan berarti dalam sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, dan kesejahteraan rakyat.
Masa suram eropa terjadi karena pejabat (dewan gereja, pendeta) bukanlah orang yang kompeten di dalam bidangnya!! Pendeta bukanlah ahli pertanian, bukan ahli pemerintahan, dan pendeta bukanlah ahli hukum, dan pendeta bukanlah ahli dalam segala hal, karena pendeta adalah manusia yang terbatas. Agama dan Ilmu Pengetahuan punya tempatnya masing-masing dan saling membutuhkan. Agama membutuhkan ilmu pengetahuan untuk membantu manusia menemukan Tuhan secara nalar dan cerdas. Ilmu pengetahuan membutuhkan agama sebagai rambu untuk tidak digunakan demi kepentingan pribadi dan menyakiti manusia lain.
Sistem berbasis Kompetensi dan Kinerja
Terobosan birokrasi yang dilakukan Jokowi-Ahok di DKI dikenal dengan sebutan lelang jabatan. Lelang jabatan adalah sistem berbasis kompetensi dan kinerja. Sistem ini bukan hal yang baru atau pun luar biasa karena negara-negara maju dan koorporasi sudah menerapkannya puluhan tahun lalu. Menjadi luar biasa karena adanya keberanian Jokowi-Ahok menerapkannya di kala birokrasi Indonesia masih bergaya ‘lama’.
Sistem kinerja dan kompetensi (Lelang Jabatan) adalah sebuah sistem yang menempatkan individu berdasakan kemampuannya dan dinilai berdasarkan kinerjanya. Individu yang memiliki potensi dan kemampuan yang akan menduduki jabatan. Cara penilaiannya pun obyektif dan dapat diukur sehingga bisa dibedakan mana yang bekerja keras dan mana yang malas-malasan. Jenjang karir menjadi fair (setara/adil) dan tertata baik sehingga memotivasi individu untuk berprestasi. Iklim birokrasi seperti inilah yang dibutuhkan untuk mendongkrak kualitas birokrasi Indonesia.
Kontroversi penolakan Lurah Susan sesungguhnya bukan sebuah isu SARA tetapi isu birokrasi. Hal ini karena Lurah Susan dipilih berdasarkan seleksi kompetensi dan dinilai berdasarkan kinerjanya. Sungguh tidak tepat bila Lurah Susan diganti karena alasan agama bukan alasan komptensi dan kinerjanya.
Pergantian Lurah Susan memiliki dampak yang sangat besar bagi birokrasi DKI dan masyarakat. Akan timbul kebingungan dalam birokrasi, wibawa pemimpin (Jokowi-Ahok) akan diragukan, sistem lelang jabatan akan runtuh seketika. PNS bingung kejelasan indikator kinerja. Penyakit mental ABS (asal bapak senang) atau rajin sama bodoh gajinya sama saja akan muncul kembali. Sistem promosi menjadi kacau karena indikatornya menjadi tidak jelas. Kepercayaan PNS terhadap Jokowi-ahok menjadi rendah karena sang pemimpin sudah mengintervensi dan meragukan sistem yang dibuatnya.
Potensi besar PNS tidak akan pernah keluar, mentalnya pun menjadi rusak sehingga akan menjadi malas-malasan dan tidak berprestasi. PNS yang malas dan bodoh bisa naik pangkat karena dekat dengan atasan. Menyatakan ketidaksetujuan dengan atasan bisa menyebabkan dipindahtugaskan atau non job. Seleksi CPNS pun menjadi rawan calo dan KKN.
Masyarakat sebagai konsumen akan merasakan dampak lebih serius. Birokrasi kembali menjadi berbelit-belit, lambat, dan panjang. Berurusan dengan birokrasi akan menjadi pemborosan waktu, tenaga, dan uang. Patgulipat, kongkalikong, dan pungli akan menjadi solusi jalan pintas.
Oleh karena itu, Jokowi-Ahok sudah on the track dalam kasus Lurah Susan. Jangan mundur lagi. Jangan mundur selangkah pun!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H