Mohon tunggu...
Paul Simanjuntak
Paul Simanjuntak Mohon Tunggu... -

Kerjaan sih mikir angka, tapi doyannya politik

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pelarangan Miras, Kebijakan yang Tidak Sensitif

3 Maret 2012   00:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:36 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini (baca: beberapa jam yang lalu) saya membaca tulisan yang menggelitik saya untuk memberikan tanggapan baru. Tulisan dari M. Aziz, yang menyarankan pelarangan minuman keras (http://hukum.kompasiana.com/2012/03/03/pelarangan-miras-pelarangan-ham/), saya rasa didasarkan pada pengamatan sejenak pada kejadian-kejadian mutakhir (ya, 3 bulan memang hanya sejenak dalam konteks masalah publik).

Minuman keras, seperti dikatakan saudara Aziz, memiliki efek yang sangat merugikan. Tanya saja korban-korban Afriyani atau korban kejadian di Ciamis. Bagaimana mereka telah kehilangan keluarga mereka. Kita tidak bisa menampik bahwa kejadian-kejadian itu sangat memilukan hati, bagaimana nasib manusia yang dihabisi seorang yang mabuk dibekali dengan sebuah mobil.

Sebelum kita berangkat lebih jauh dan menyalahkan sana sini, kita lihat dulu bagaimana minuman keras (miras) ada di tengah masyarakat kita. Kalau kita mau melihat dengan jujur, kita pasti menyadari bahwa alkohol sudah lama sekali menjadi bagian dari kehidupan berbagai masyarakat di Indonesia. Namanya dikenal beragam, mulai dari arak, tuak, legen, brem, bahkan tape yang dipakai tukang cendol dan disajikan untuk anak-anak. Tidak cukup hanya buatan sendiri, interaksi ratusan tahun membawa juga berbagai macam minuman yang mendengar disebut saja banyak orang akan menjengit: bir, anggur, wiski, vodka, dan lainnya.

Kejadian yang saya sebutkan membuktikan bahwa sebenarnya alkohol bukan barang baru untuk kita. Tapi kenapa kita seperti begitu asing dengan alkohol? Tunggu sebentar, ada yang bilang kita asing dengan alkohol? Cobalah berkunjung ke berbagai daerah. Saya akan menceritakan yang paling saya kenal, Sumatera Utara. Bagaimana orang mengonsumsi alkohol di sini? Jangan ditanya berapa banyak kedai yang tidak menyajikan alkohol. Jumlahnya sama banyak dengan salju di Jakarta, dengan kata lain tidak ada! Kalau kita berhenti di sebuah kedai, ada dua kemungkinan besar minuman yang kita dapat: kopi atau alkohol. Tentu saja ada pilihan standar seperti teh (manis tentunya) dan minuman ringan lainnya. Namun melihat peran alkohol yang kuat, keberadaannya (dan kedai-kedai yang menyajikannya) menjadi semacam pemersatu berbagai orang. Di tempat yang sama orang akan duduk-duduk dan bercakap-cakap. Mungkin bisa disamakan dengan keberadaan warkop(warung kopi) di Pulau Jawa.

Saya tidak tahu pasti, mungkin di daerah lain ada juga. Yang saya ingin katakan, sebenarnya alkohol tidak seasing yang kita bayangkan selama ini (terutama untuk banyak warga Jakarta). Apakah alkohol menjadikan Sumut sebagai pusat tabrakan mabuk nasional? Tidak juga. Apakah tindak kejahatan di Sumut lebih tinggi dari kota-kota yang sebagian besar bebas alkohol? Tidak juga. Malah, seperti ditunjukkan oleh sejarah, tahun 1919-1935, AS melarang peredaran semua makanan dan minuman yang berkadar alkohol lebih dari 0,5% (jadi tidak ada topi miring, anker, bintang, johnny walker, dan kawan-kawan). Yang terjadi adalah maraknya penyelundupan dan berbagai kejahatan terorganisir lainnya dan berpuncak pada jayanya mafia-mafia seperti yang Al Capone dan sebagainya. Belum lagi ditambah orang-orang yang meninggal karena minuman aspal yang tidak jelas asalnya. Setelah dicabut, bukan hanya para mafia yang melemah, produktivitas pun tidak menurun karena miras.

Kesimpulannya, sama seperti banyak hal-hal lain, kebijakan publik tidak seharusnya didasarkan pada pengamatan trivial dalam jangka waktu yang sempit. Pelajaran yang ditarik dari kejadian Afriyani dan sejenisnya adalah bahwa pengemudi dilarang berkendara dalam kondisi mabuk. Tugas polisilah yang mengatur itu, seperti melakukan razia atau pemantauan pada pengemudi yang kelihatan tidak bisa mengendalikan dirinya (kelihatan kok), bukannya malah melarang minuman keras. Itu seperti karena jari sakit tertusuk duri, tangan dipotong tapi duri tidak dicabut.

N.B.: Saya tidak akan bicara masalah HAM penjual dan pembuat di sini, karena sebenarnya hal itu tidak begitu relevan dengan persoalan ini.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun