Mohon tunggu...
Reni Widyaningrum
Reni Widyaningrum Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga, suka akan kerajinan tangan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Big City Big Opportunity

25 Maret 2010   05:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:12 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalimat tersebut adalah bunyi sebuah iklan property yang saya dengar di sebuah radio. Radio ini dinilai sebagai salah satu radio yang mengedepankan konsep “citizen journalism” karena tidak hanya reporternya yang bisa memberikan laporan, tetapi masyarakat boleh memberikan laporan baik melalui sms ataupun telepon langsung ke radio yang bersangkutan. Bukan radio ini yang ingin saya perbincangkan melainkan bunyi iklan tadi. Big city big opportunity. Saya pikir ada benarnya juga.

Setelah hampir 14 tahun saya meninggalkan kota kelahiran saya, sekitar tahun 2003 kami kembali ke kota kecil saya. Tidak banyak hal yang berubah. Hampir semua sudut kota masih sama seperti waktu saya meninggalkan kota untuk kuliah dan selanjutnya mengikuti suami setelah menikah. Iklan tersebut saya dengar setelah kami kembali ke kota kecil saya . Mendengar iklan tersebut saya jadi berpikir benarkah jika tinggal di kota besar berarti kesempatan yang ditawarkan juga lebih besar dibanding tinggal di kota kecil?

Untuk banyak hal ternyata benar adanya. Seperti misalnya untuk mendapatkan buku baru.Yang saya maksudkan adalah buku-buku yang baru diterbitkan. Agak sulit bagi kami untuk bisa segera mendapatkannya. Di kota tempat saya tinggal hanya ada dua buah toko buku yang lumayan representative. Saya katakan lumayan karena memang sangat jauh keadaannya jika dibandingkan dengan jaringan toko buku besar yang biasanya selalu ada di setiap kota besar. Dua toko buku inipun baru masuk ke kota kami sekitar tiga tahun belakangan. Jadi, sebelumnya setiap kali saya ingin sekedar jalan-jalan ke toko buku maka saya harus ke kota sebelah yang jauhnya sekitar 1 jam menggunakan bis umum. Beruntung, 2 tahun terakhir ini diselenggarakan bazaar buku murah yang diadakan oleh perpustakaan daerah yang biasanya diisi oleh penerbit-penerbit besar dan agensi-agensi buku dari kota besar pula. Pada saat pesta buku murah inilah para penikmat buku bisa melakukan aksi”borong habis” buku-buku yang ditawarkan. Untuk buku baru potongan harga yang diberikan tidak terlalu signifikan. Tetapi bila kita mau sedikit jeli dan sabar mencari-cari kita bisa mendapatkan buku-buku bagus dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan harga aslinya. Buku bacaan untuk anak-anak hanya dihargai Rp 5000,00 sedangkan untuk buku dengan judul sudah agak kadaluarsa bisa dibeli dengan harga Rp 10.000 ,00 sampai Rp 15.000,00.

Itu baru satu hal. Hal lain yang menurut saya membenarkan iklan tersebut adalah kesempatan kerja. Di kota tempat saya tinggal ini nyaris tidak ada industri yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Satu-satunya pabrik tekstil yang pernah begitu berjaya telah tutup bertahu-tahun lalu. (Ingat kasus Marimutu Sinifasan dari Texmaco). Bahkan pabrik rokok yang tadinya sudah santer diberitakan akan didirikan di kota kami ternyata lebih memilih kota sebelah yang saya maksudkan tadi. (Kota sebelah ini sudah sangat terkenal bahkan dikenal sebagai Jepangnya Indonesia).Pabrik rokok tersebut letaknya hanya di batas kota. Kabar angin mengatakan karena di kota sebelah tersebut segala macam tetek bengek perijinan lebih mudah dibandingkan dengan kota kami. Kebenarannya bagaimana saya tidak tahu pasti. Belum lagi jika melihat iklan “Walk in Interfiew” yang selalu diselenggarakan di kota-kota besar. Bagaimana para calon tenaga kerja yang tinggal di kota kecil seperti kami bisa ikut ambil bagian ? Syukur kalau mereka mempunyai saudara apa itu kakak, paman, sepupu yang tinggal di kota dimaksud, bisalah dijadikan base camp sementara waktu, bagaimana dengan yang tidak?

Hal lain lagi adalah ketika kami harus menghadapi kenyataan perilaku konsumen yang selalu “jadul” jika dibandingkan dengan kota sebelah. Untuk menawarkan produk yang menurut kami sudah begitu populer seperti Burger, Frenchfries. Kami butuh waktu hampir 2 tahun sampai masyarakat benar-benar tahu. Sangat melelahkan! Energi sudah habis-habisan orang baru kenal.

Untuk mendapatkan berita-berita teraktual pun kami tetap ketinggalan. Koran nasional yang jika di Kota besar sudah bisa dinikmati pada jam setengah enam pagi, baru akan sampai di kota kami sekitar pukul sembilan pagi. Satu-satunya yang bisa diharapkan adalah internet, itupun seringkali web servernya bermasalah.

Sempat tinggal di beberapa kota besar (Solo, Semarang, Denpasar dan Jakarta) membuat kami merasa seperti “Eagle Flies Alone” (ini slogannya almarhum Prof.DR. Riswanda Imawan) ketika pertama kali pulang ke kota kecil saya. Bukan berarti karena kami merasa hebat seperti rajawali, tetapi karena kami merasa seperti burung paling aneh di sekawanan burung lain. Di kota-kota sebelumnya kami terbiasa harus bangun pagi-pagi untuk segera berangkat kerja dan beraktifitas. Di kota kecil saya , kota baru mulai hidup sekitar pukul 06.30 ketika jalanan penuh dengan anak-anak sekolah yang berangkat menuju sekolah mereka masing-masing.

Pandangan agak nyiyir dan tidak dianggap di tengah-tengah masyarakat juga biasa kami terima. Menjadi wirausaha mandiri seperti kami hampir pasti hanya dipandang sebelah mata di lingkungan kami tinggal. PNS tetap menjadi yang paling dihormati dan disegani. Tetapi lama-lama kami menjadi terbiasa, dan dalam hati kami tetap bersyukur karena kami tidak terlempar menjadi 2 orang pengangguran terdidik di kota kecil ini.padahal di kota-kota besar dulu siapa yang berani terjun menjadi wirausaha justru akan diacungi jempol banyak orang. Dan masih banyak hal lain lagi saya kira.

Itulah sedikit apa yang saya rasakan yang membenarkan iklan Big City Big Opportunity. Hmmm... ternyata tinggal di kota kecil tidak selalu identik dengan kenyamanan, apalagi kemudahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun