Sepertinya publik sudah bosan dengan kelakuan pemimpin-pemimpin karbitan HMI yang hanya pandai beretorika, omong kosong dan langkah tidak konkrit lainnya. Mereka sangat merindukan pemimpin autentik yang getol memperjuangkan persoalan keumatan dan kebangsaan. Seperti tertuang dalam pasal 4 Anggaran Dasar Himpunan Mahasiswa Islam (AD-HMI) “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”.
Kerisauan Sejarawan HMI Profesor Agus Salim Sitompul dalam bukunya “44 Indikator Kemunduran HMI” merupakan perwujudan atau representasi persoalan serius sedang dialami HMI. Menurutnya, HMI tidak lagi menarik dan sudah tidak mampu menjawab kebutuhan kalangan mahasiswa juga masyarakat pada umumnya. Hal ini dimungkinkan terjadi karena ketidakbecusan para pemimpinnya, mulai kepengurusan Cabang, Badan Kordinasi (Badko)/ Daerah, hingga tingkat pusat yaitu Pengurus Besar (PB HMI). Mereka tidak berintegritas dan terjebak pragmatisme yang hanya melanggengkan kekuasaan.
Kehebohan di arena Konferensi Cabang (Konfercab), Musyawarah Daerah (Musda) dan Kongres HMI dalam memperebutkan posisi penting dan strategis Ketua Umum (Ketum) atau pemimpin baru tampaknya tidak sebanding dengan output yang dihasilkannya. Mereka yang terpilih bisa jadi memaknainya sebagai medium yang cukup efektif untuk menyalurkan syahwat politik praktis. Terlebih posisi tersebut memiliki power atau kekuasaan sosial politik dengan berbagai keuntungannya.
Tidak sedikit kader ingin menduduki jabatan itu dengan menempuh berbagai cara yang tidak ideal atau tidak etis. Seperti memaksakan diri dengan berbagai fasilitas yang dimilikinya missal uang, popularitas dan jejaring dengan penguasa. Walaupun sebenarnya mereka tidak memiliki kualifikasi yang layak untuk menahkodai organisasi mahasiswa terbesar tersebut. Bahkan ada yang berusaha mencapainya dengan melanggar konstitusi, seperti suap dan politik uang. Namun banyak juga yang berusaha mencapainya dengan cara-cara yang sesuai aturan dan yang dari segi etis betul-betul mengutamakan kualitas atau kemampuan yang layak.
Dalam kepemimpinan aspek akseptabilitas (acceptability) memanglah berguna agar bisa dikenal, diterima, dan kemudian dipilih. Tapi jangan begitu terpilih, ceritanya jadi berbeda. Dengan akseptabilitas pula suatu kepemimpinan tidak akan mudah digoyang karena memiliki legitimasi kuat. Namun, akseptabilitas tanpa sebuah kemampuan atau kapasitas yang jelas pada organisasi bahkan lembaga/ instansi pemerintah sekalipun akan menghasilkan kinerja amburadul dan carut-marut. Maka keduanya harus berbanding lurus.
Seseorang memilih untuk menjadi pemimpin pada dasarnya mewakafkan hidupnya untuk pengabdian, berarti memiliki tanggung jawab yang lebih untuk mendedikasikan hidup mereka demi kemaslahatan umat dan bangsa. Pemimpin itu berpikir, bertindak dan bekerja bukan untuk kepentingan individu atau pun kelompok. Melainkan untuk orang lain, untuk semua. Jika ada pemimpin keluar dari prinsip ini, pada dasarnya mereka bukan pemimpin. Sayangnya, kepemimpinan di HMI sepertinya makin jauh dari prinsip ini. Akibatnya, publik sulit mempercayainya begitu saja! []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H