Saya Silvi, 45 tahun, Penyintas Covid-19 ingin berbagi cerita ketika saya mengalami Covid-19.
Kilas balik ke akhir Juni 2021, tepatnya tanggal 28 Juni, awalnya merasakan badan terasa cape, kepala pusing, saya cek beberapa kali suhu normal, saya abaikan karena tekanan darah saya biasa rendah saya pikir mungkin cape biasa.
Sudah 3 minggu ART pulang pergi di rumah saya off kan, karena angka Covid-19 yang makin tinggi. Saya pikir juga ini efek vaksin kedua pada hari Sabtu, 26 Juni.
Karena perasaaan ga enak, mulai hari itu saya tidur di lantai bawah, suami dan anak-anak di lantai atas, kamar mandi juga terpisah sendiri.
Besoknya saya demam, suhu 38,5, perasaaan saya makin ga enak, kedua anak saya  kemudian saya ungsikan ke rumah Kakak saya karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk.Â
Saya sempat konsul dengan dr.Dahlia dan disarankan untuk test Antigen, saya tidak langsung test karena masih berharap demam biasa, besoknya suhu tubuh normal, saya mulai agak tenang. Namun besoknya pukul 2 dini hari badan saya menggigil dan suhu 38,5.
Paginya saya test Antigen. Sebelum test Antigen saya telpon orangtua saya mohon doa agar negatif, sudah seperti orang mau berangkat perang aja hehe.Â
Pukul 13.00 hasil Lab keluar Dr Dahlia mengabari kalau Antigen saya positif dan saya harus isoman terhitung dari tanggal 1 Juli 2021.
Ketika Dr Dahlia memberi kabar, saya terdiam istighfar dalam hati... akhirnya datang juga hari itu, hari yang ditakutkan semua orang saat ini, hari saat kita dinyatakan terinfeksi virus Covid-19.Â
Saya mengabari orangtua dan kakak saya, lewat WA, kemudian saya masuk kamar menutup pintu, saya hamparkan sajadah, saya menangis sejadi-jadinya.
Kemudian kakak saya menelpon tambahlah saya menangis, ingat saya menitipkan kedua anak saya di sana, khawatir anak saya OTG dan membawa virus kesana, dll.
Pikiran berkecamuk, ada perasaan tidak menerima klo saya bisa terinveksi virus Corona, saya ingat-ingat dimana saya bisa terinfeksi virus itu.
Menjelang vaksin ke 2, seminggu lebih tidak sepedahaan, namun 5 hari dan 7 hari sebelum saya demam saya berturut-turut ke Supermarket dan Pasar Buah dekat rumah, selebihnya saya di rumah, mungkin disitu titik lengah saya.
Tiga hari kemudian suami, anak dan keluarga Kakak saya ditest, Alhamdulillah semua negatif.
Hari pertama dan kedua isoman gejala yang saya rasakan demam, menggigil, pusing luar biasa, cape, lidah terasa pahit, namun saya paksakan untuk makan. Saya di kamar terus, keluar hanya untuk ke kamar mandi dan menyiapkan makan.Â
Suami harus isoman juga karena kontak erat. Aneh juga saya dengan suami di rumah seperti teman kost yang lagi musuhan, jauh-jauhan... kalau mau ambil air di dispenser, masih ada suami, saya mundur dulu, khawatir virusnya menulari suami.Â
Suami yang menyiapkan makan tapi setelah makan saya langsung cuci sendiri piringnya. Di kamar saya gunakan untuk membaca Alquran, novel novel ringan penyemangat jiwa hehehe....
Hari ketiga dan keempat masih demam namun mulai menurun, mulai batuk berdahak, sangaaat menggangggu,susah untuk dikeluarkan, saya mulai mengaji dengan tajwid yang benar tidak mengejar jumlah ayat, Â saya teringat nasihat guru mengaji saya bahwa setiap huruf Al Quran punya hak diucapkan dengan makhraj (tempat keluarnya huruf) yang benar, saya pun minum madu Hutan dan malamnya saya muntah-muntah, besok paginya Alhamdulillah tenggorokan plong.
Saya mulai tidak demam lagi di hari ke 6, Dari awal isoman sampai hari ke 14 saturasi oksigen 99-100, penciuman Alhamdulillah tidak pernah hilang.
Hari ke 10 nafsu makan mulai membaik, hanya badan masih sering terasa cape. Alhamdulillah di hari ke 14 ini kondisi saya semakin membaik.
Bagi sebagian orang yang pernah mengalami Covid-19 dan sembuh, mungkin ada anggapan Covid itu hanya Flu biasa, buat saya meskipun gejala yang saya alami relatif ringan, isoman di rumah, Covid bukan hanya penyakit biasa, ibarat kita sakit gigi, sakitnya hanya badan kita yang merasakan, tetapi ketika kita terinfeksi Covid yang sangat menularkan ini, tindakan kita dalam menangani covid ini bisa berakibat fatal bagi orang-orang di sekeliling kita, mungkin kita bisa sembuh cukup dengan isoman di rumah, minum vitamin, namun klo kita menulari orang di sekitar kita yang rentan, efeknya akan panjang.
Covid juga berdampak pada psikis, ketika kita mengetahui kita terinfeksi ada perasaaan bersalah, apalagi untuk Ibu2 Survivor, yang mempunyai mitos Ibu tidak boleh sakit, berbagai pikiran berkecamuk, bagaimana nanti anak2, dsb. Selain kita harus menyembuhkan diri sendiri kita juga memikirkan banyak hal-hal lain.
Angka infeksi Virus Covid-19 makin tinggi mau tidak mau, siap tidak siap kita harus menyiapkan mental untuk menghadapinya, tujuannya agar ketika kita terinfeksi kita tidak terlalu panik.
- Kenalilah tubuh kita lebih dekat, kalau badan mulai terasa lain dari biasanya, cek suhu, jika suhu >37.5 langsung tes antigen /PCR Â secepatnya utk menentukan positif/negatif COVID-19 sedini mungkin.
- Pasang No. Kontak Puskesmas di HP Â ketika RS penuh, antrian home care waiting list sampai ratusan, Puskesmas adalah Jaring Pengaman terdekat kita. Ketika kita terinfeksi meskipun gejala ringan kita tetap harus didampingi dokter.
- Aktifkan aplikasi kesehatan online untuk konsultasi kesehatan
- Di Rumah Siapkan Oximeter dan termometer
Jalin silaturahmi agar bisa saling support dan gotong royong di Grup Sekolah atau Rumah untuk mengetahui ketersediaan tabung oksigen misalnya yang bisa kita pinjam, karena tidak mungkin semua orang harus mempunyai tabung oksigen.
Perlukah kita mengumumkan kita terinfeksi Covid-19?
Saya mengumumkan saya terkonfirmasi positif ke keluarga inti, Â grup kelas juga beberapa teman dekat. Selain bantuan doa , saya banyak terbantu dari mulai obat antibiotik dan antivirus yang saya dapatkan dari teman penyintas karena di Puskesmas dan di Apotik kosong.Â
Saya punya grup kelas SMA, dimana kalau ada teman yang sakit kita kirimkan makanan, vitamin, bahkan  tabung oksigen pun kita pinjam meminjam.
Alhamdulillah perhatian keluarga dan teman dekat menjadi tempat saya melepaskan/release stress dan kesedihan saya di awal2 isoman, membuat saya lebih tenang dan tangguh menjalani isoman.
Terlebih kiriman makanan yang datang bergantian sangat membantu saya, karena di awal2 isoman mikir mau makan apa aja saya pusing, jadi saya makan makanan yang dikirim saja hehe...
Saya tidak mengumumkan di grup yang lebih besar dan Medsos, alasannya 2 minggu sebelum saya terkonfirmasi positif, saya tidak bertemu dan tidak ada kontak erat dengan teman-teman dan saya ingin lebih fokus untuk kesembuhan saya.
Apa yang  kita lakukan saat Isoman:
- Lebih mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta
- Menjaga komunikasi dengan keluarga dan teman dengan menelpon, video call, Zoom ngobrol-ngobrol santai, jadi berasa sedang dijenguk namun virtual
- Isoman 14 hari tentu waktu yang lama apalagi untuk orang yang biasa beraktivitas, untuk orang yang bergejala ringan seperti saya agar tidak bosan bisa mencari  kegiatan ringan seperti menulis, membaca, membersihkan tanaman, namun tetap harus hati-hati dalam melakukan kegiatan fisik, karena Isoman hakikatnya kita harus bed rest, tubuh juga secara fisik terlihat sehat tapi masih belum normal.
- Berjemur agar kegiatan berjemur tidak membosankan bisa sambil baca buku, mendengarkan musik/podcast, scrubbing ...nikmatilah berjemur seperti halnya orang bule sunbath di pinggir pantai hehe...
- Latihan pernafasan, bisa berguna juga agar kita bisa tidur dengan nyenyak, di awal2 isoman saya mengalami susah tidur.
Untuk yang sedang terpapar, mengutip ucapan Ary Ginanjar...
- Ketenangan adalah separuh dari obat.
- Kesabaran adalah awal dari kesembuhan.
- Fokuslah pada harapan bukan kekhawatiran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H