Mohon tunggu...
Silvia Widyasari
Silvia Widyasari Mohon Tunggu... -

Saya suka menulis apa saja dari dan untuk kemanusiaan, mencoba memanusiakan manusia, untuk mengembalikan jiwa dan nurani manusia-manusia yang terkadang lupa. Karena manusia hanya manusia, makhluk Tuhan yang selalu perlu diingatkan agar tidak lupa, terlupa, atau saling melupakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hitam, Abu, dan Paradigma Pria Wanita

19 Maret 2014   07:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:46 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hitam, Abu, dan Paradigma Pria Wanita

Apa kabarmu hari ini, Taruna? Ingatkah kamu, hari ini, empat tahun yang lalu? Tahun 2009. Saat aku baru memasuki kampus baruku. Engkau yang juga belum lama menduduki jabatan sebagai senior guru, sudah lama tidak berkabar, dan sering aku gosipkan tidak lagi mencintaiku, memutuskan untuk pergi menjauh. Desember yang abu-abu. Tidak tahu apakah keputusanku ini benar atau salah. Tidak tahu dimanakah letak kesalahan kita. Untuk tidak menghubungimu dua minggu setelah itu. Tahukah kamu, Taruna? Aku yang sebenarnya menunggu kamu lebih dulu menghampiriku. Aku adalah orang yang kalah, kalah oleh gengsiku sendiri. Maafkan aku.

Apa kabarmu hari ini, Srikandi? Ingatkah kamu, hari ini, empat tahun yang lalu? Tahun 2009. Saat kamu baru memasuki kampus barumu. Kamu sangat bahagia saat itu. Mengenal teman-teman baru, mendapat banyak pelajaran tentang teori dasar filsafat yang selama ini engkau idam-idamkan. Engkau seperti anak kecil yang baru saja menginjak bangku sekolah. Lucu sekali. Saat itu, aku yang juga belum lama menduduki jabatan sebagai senior guru, sudah lama tidak memberi kabar padamu, dan sering engkau gosipkan tidak lagi mencintaimu, lalu memutuskan untuk pergi menjauh. Padahal kamu tidak tahu, bahwa akulah yang selalu mencintaimu hingga sum-sum. Cabut tulangku bila aku hendak pergi menjauh darimu! Desember yang sangat hitam. Tidak tahu apakah keputusanku ini benar atau salah. Untuk tidak menghubungimu dua minggu setelah itu. Tahukah kamu, Srikandi? Aku yang sebenarnya menunggu kamu lebih dulu menghampiriku. Aku adalah orang yang kalah, kalah oleh gengsiku sendiri. Maafkan aku.

Aku menangis hingga Desember berakhir. Desember 2013. Ya, hari ini. Aku masih menangis. Di saat segala teknologi sudah memancar. Komunikasi menjadi jauh lebih lancar, kita sudah tidak lagi menjadi pasangan. Kamu sudah memilih untuk mengganti cincin dengan inisial “S” di jari kirimu, dengan cincin berinisial “R.” mengapa huruf “R” yang engkau letakkan sebagai setelahku? Harusnya huruf  “T” bukan! Harusnya tidak pernah tergantikan…

Srikandi, aku mungkin tidak menangis di depanmu. Karena engkau memang tidak pernah melihat hatiku secara langsung. Engkau lebih senang berkonsultasi dengan teman-teman lelakiku. Engkau bilang, mereka lebih mengetahui gelagat dan tidak tandukku. Tahu apa mereka? Engkau hanya berasumsi dengan perasaanmu. Aku sibuk mengemban beban untuk mencari ilmu. Bekerjapun, aku ingin terus menambah ilmu. Aku haus ilmu. Aku lebih haus ilmu daripada cinta. Ilmu yang kupegang, kurasa belum cukup untuk menghidupimu kelak dan anak-anak. Aku akan mengumpulkan dahulu uang yang banyak. Agar bahagia hidup bersamaku, dihiasi senyum yang semarak. Maafkan aku menggantimu dengan Riri. Walau selama kita pacaran lima tahun, Riri tidak pernah menghampiri, namun penghiburannya di saat yang tepat, membuat inisial namanya langsung bertahta di cincin jari manis kiri. Aku tidak tega mengatakannya padamu. Maka aku putuskan untuk menjauh. Pikiran lelakiku.

Mengapa kamu tega tidak memberi tahu ku tentang acara pertunanganmu dengan Riri? Taruna, tahukah kamu, aku selama ini mempertanyaan keberadaanmu. Baru aku tahu setelah datang sepucuk undanganmu. “Taruna Feryanto & Riri Farrah Gayatri” Nama itu langsung menghantam jantungku. Aku mati seketika saat itu. Tidak ada konfirmasi lebih dulu. Atau mungkin engkau sudah tidak memandang penting diriku. Yang sudah lima tahun menjalin kisah cinta dalam suratan hidupmu. Walau tidak hingga ajal bertemu. Aku sudah tidak berarti secepat itu bagimu.

Awal kita bertemu, di sebuah situs jejaring sosial yang sedang popular saat itu. Friendster. Tempat engkau pertama menyapaku dengan ramah, Srikandi. Engkau dari dulu sampai terakhir kita berpisah, selalu beramah-tamah. Dengan siapa saja, dari kalangan apa saja. Mirisnya kepada lelaki mana saja. Aku cemburu. Aku mungkin yang selama kita pacaran, banyak menahan pilu. Walaupun engkau anggap aku tidak pernah merasakan hal itu. Memang, aku tidak pernah memberitahu mu. Aku pikir, lebih baik diam. Cintapun lebih baik diam. Apa-apa harusnya dapat diselesaikan dengan mudah, hanya dengan diam. Diam.

Engkau selalu tersenyum. Taruna ku yang ramah. Engkau tersenyum pada siapa saja. Engkau senang berbagi cerita kepada siapa saja, kapan saja, dimana saja. Mirisnya kepada wanita mana saja. Termasuk wanita-wanita yang menaruh hati padamu. Engkau tidak menjaga jarak dengan mereka. Engkau menganggap mereka teman biasa. Namun engkau tidak pernah tahu, apa isi otak wanita. Aku tahu? Sedikitnya begitu. Paling tidak, lebih tahu darimu. Wanita yang menyukai seorang pria, akan menjadi terkesima dan mengharap berbalas rasa. Itu yang aku diamkan darimu. Aku rasa, Diam dapat membuatmu mengerti. Karena engkau bukanlah lelaki bodoh. Namun kurasa engkau hanya mengedepankan logika, tanpa mengikutsertakan perasaanku di sana.

Cinta harus memakai logika,

Cinta bukan hanya duduk bersebelahan dan saling menahan kentut agar tidak ditertawakan.

Cinta… berjuang untuk memperoleh banyak harta. Yang dapat membahagiakan tujuh turunan kita.

Cinta harus memakai perasaan,

Cinta harus terjadi sentuhan antara dua insan yang hatinya dipersatukan. Cinta adalah sebuah penerimaan, tentang segala kekurangan pasangannya, walau kadang tidak sesuai harapan.

Cinta… berjuang untuk saling ada. Saling menciptakan kehadiran diantara hutan belantara yang seolah memisahkan kita.

Aku tidak pernah keberatan mendengar suara kentutmu, Srikandi. Segala yang ada padamu adalah candu tersendiri. Begitupun dengan suara kentutmu. Bagiku, layaknya dawai seruni. Mengertilah aku barang sebentar. Aku beritahu saat kelas sudah bubar. Pasti. Engkau tidak berlu sesumbar. Mencaci maki aku secara tidak langsung di media sosial bagai kaum barbar. Sudahlah, sekarang kita sudah bubar. Bukan saatnya lagi untuk saling tuduh, saling gampar. Apalagi dengan sikap anak-anak mencoret-coret buku ajarku dengan berbagai gambar. Mungkin benar, pikiranmu memang belum bertambah besar.

Aku benci saat engkau dahulu saat masih bersamaku, selalu lama memberi kabar. Aku benci saat engkau dulu saat masih bersamaku, sering mengatakan bahwa aku selalu sesumbar. Padahal aku bukan kaum barbar. Aku tidak suka membandingkanmu dengan lelaki lain, bagaikan sedang membedakan dua orang kembar. Engkau satu-satunya bagiku yang sedang hambar. Aku membutuhkanmu di titik emosiku yang seringkali mendadak tampak sukar.

Engkau Srikandi ku. Engkau tidak pernah aku lewatkan penghargaannya dalam berbagai acara emosi dalam jiwa. Tetapi engkau selalu menuduhku, tidak pernah mengerti perasaanmu. Logika ku berkata, engkau sedang baik-baik saja. Engkau baru memberi tahu saat engkau sudah naik darah karena anggap aku tidak mau mengerti kamu yang sedang terkena pre-menstrual-syndrome parah.

Wanita edan! (deleted).

Pakai otakmu, Taruna! (deleted).

Aku harap engkau mampu memakai otak rasionalismu dengan benar. Tidak hanya disandingkan dengan berbagai praduga tak bersalah dari alibi-alibi mu saat aku marah. Mungkin aku memang yang salah. Aku memang yang sering berbuat salah, hingga membuatmu marah. Tapi aku memiliki alasan tersendiri untuk itu. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya menjadi aku. Saat organ reproduksimu berubah warna, dari putih menjadi hitam. Terjadi proses abu-abu yang tidak aku ketahui dengan jelas darimana asalnya dan apakah itu namanya. Tiba-tiba perasaanku bergejolak penuh tanda tanya. Kamu harusnya sudah tahu itu. Dan tidak perlu menunggu diamku meledak hingga marah terlebih dahulu.

Aku bukan Tuhan yang dapat menebak segala perasanmu, Srikandi!

Aku bukan Tuhan yang dapat mengetahu apa yang sedang engkau pikirkan, Taruna!

Mengapa wanita selalu mengandalkan perasaan? Tanpa memakai logikanya lebih jauh…

Mengapa lelaki selalu mengandalkan logika? Tanpa memasuki perasaan wanita lebih dalam…

Harusnya kita saling bicara…

Harusnya kita saling bicara…

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun