Mohon tunggu...
Silvia Ratnawati
Silvia Ratnawati Mohon Tunggu... Administrasi - Social Worker

Graduated from Bogor Agricultural University and work at Dompet Dhuafa Banten

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengecilkan Prasangka Membesarkan Niat

15 Agustus 2017   13:37 Diperbarui: 21 Agustus 2019   10:14 9140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa minggu belakangan ini, saya banyak mendengar omongan - omongan  yang kurang enak didengar. Singkat cerita, 3 bulan terakhir saya  tertarik untuk berhijrah. Kebiasaan - kebiasaan baik sudah saya lakukan  sejak setahun belakangan ini dan saat ini saya berpikir untuk merubah  penampilan. Saya tertarik dengan baju serta kerudung - kerudung panjang.  Saya pun mulai membiasakan diri untuk tertutup dan berbeda dari outfit  biasanya. Walaupun saya belum bisa sepenuhnya menutup aurat, tapi  setidaknya saya sudah "belajar" menggunakan baju longgar & kerudung  yang menutupi dada.

Di sela - sela waktu keluar rumah saya berpenampilan  demikian, memang terkesan tidak ada yang salah. Saat ini saya magang di  salah satu perusahaan swasta di Banten, cara berpakaian saya di kampus  menggunakan kemeja & bawahan formal saya terapkan di tempat magang  dengan tambahan jas almamater. Minggu pertama, saya selalu menggunakan  kemeja dan blouse serta bawahan yang sesuai. Tidak ada yang terlalu  memperhatikan penampilan saya. Minggu kedua, saya mulai memberanikan  diri menggunakan pakaian yang panjang dengan kerudung panjang pula. Pagi  hari saat saya datang, di pos keamanan tidak ada yang mengenali saya.  Lalu saya mulai masuk ke gedung utama, bapak yang berdiri di  receptionist menertawakan saya. Kemudian saat saya sudah di ruangan,  satu dua orang menatap saya dari bawah ke atas dengan tatapan kosong.  Keesokan harinya, juga seperti itu. Saya disangka anak magang baru.  Pasti ada saja yang menertawakan penampilan baru saya. Selama 3 minggu  saya berpakaian demikian, saya merasa mendapat perhatian berbeda dari  biasanya. Tentu saja hal tersebut juga membuat saya memperhatikan  mereka. Saya tahu mana yang menegur, mana yang bercanda, dan mana yang  menjatuhkan. Bagi saya, menegur itu apabila ada sesuatu yang salah dan  orang lain memberitahu hal yang salah tersebut, lalu yang disebut  bercanda yakni keadaan dimana kedua belah pihak sama - sama senang karna  bahan candaan. Berbeda halnya dengan menjatuhkan, salah satu pihak  merasa dirugikan.

Saya ingat betul, "Ih, keliatan gendut tau!" "Lah,  kayak orang hamil neng." "Lagi hamil berapa bulan neng?" "Pake kerudung  begitu keliatan bulet banget itu pipi." "Mau pengajian, buk?" "Eh, bu  haji!" "Mau kondangan, neng?" "Ih, kok pake bajunya begitu?" Dan  maaaasih banyak lagi. Deg. Bergetar hati saya. Harus kalian ketahui,  istiqomah pada niat baik itu susah. Sontak saya berpikir, apa yang salah  dengan penampilan saya? Seaneh apa dandanan saya? Kenapa mereka  menertawakan saya? Parahnya lagi, beberapa dari mereka membicarakan  & menertawakan perubahan penampilan saya di depan umum. Bukankah  segala sesuatu ada etikanya? Setahu saya, menegur itu ada dua jenis,  bicara empat mata yakni nasihat dan bicara di depan umum yakni  olok-olok. Saya memang tidak bisa menahan mulut mereka satu persatu,  tapi tidak saya pungkiri juga bahwa saya tidak bisa menutup telinga  saya. Hal yang harus saya jaga adalah lisan & hati saya agar tidak  "terpancing" dan baper. Salah satu hal yang saya tidak suka adalah  penggunaan istilah baper. Sejak ada istilah tersebut, kebanyakan orang  semakin lupa etika. Hak pendidikan setiap orang memang berbeda, tapi  moral & etika setiap orang sudah merupakan fitrah diri. Ada baiknya  saya menyaring omongan mereka. Mungkin mereka lupa esensi bercanda.  Entah memang orang indonesia yang jago berkomentar atau saya yang  terlalu lebar membuka telinga.

Komentar pedas orang terhadap perubahan  penampilan saya hanya hal sepele yang ingin saya kaji dan apabila  dipikirkan ke akarnya akan terasa seperti lingkaran setan, tidak ada  ujungnya. Sesuatu yang sebenarnya salah namun dibiarkan saja tentu akan  menjadi kebiasaan buruk. Selama kuliah, saya sudah terbiasa dengan  berbagai karakter orang. Namun di lingkungan kerja, saya butuh  menyesuaikan diri dengan budaya "orang dewasa". Namun perilaku mereka  terhadap saya, tidak menunjukan sikap "orang dewasa" yang etis. Saya  akui, tidak semuanya demikian. Sebagian kecil dari mereka, saya rasa  punya pikiran yang luas dan tau cara menempatkan diri saat berhadapan  dengan saya yang notabene masih belum dewasa. Saya yang tidak ada apa -  apanya dibanding mereka ini, butuh banyak bimbingan & arahan.  Perubahan pada diri saya ini adalah pilihan saya sendiri. Saya rasa  mereka harus bisa melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang. Jangan  samakan kacamata kita dengan kacamata orang lain, tapi jangan lupa pula  memposisikan diri kita sebagai orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun