Komunitas Muslim Di Pulau Bali
Oleh
Mohamad Rian Ari Sandi dan Silvia Rahmelia
(Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kewarganengaraan Universitas Pendidikan Indonesia)
Balidikenal dengankeindahan panorama alamyang luar biasa. Tidak heran jika Bali selalu ramai oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara.Mereka berbondong-bondong berkunjung ke Baliuntuk menikmati keindahan panorama alam di sana.
Selain itu pulau Bali identik dengan Komunitas Hindu, jika mengingat kata Bali pasti akan teringat pengaruh filosofi Hindu yang sangat kental. Tetapi siapa sangka ditengah besarnya pengaruh Hindu di Pulau Bali terdapat sebuah desa yang dihuni oleh mayoritas umat Islam. Ialah di Desa Pegayaman, sebuah wilayah di sebelah utara Pulau Bali. Berdasarkan keterangan Kepala Desa setempat, wilayah ini didomisili oleh 90% warga Muslim pada 2012, dan meningkat pada 2014 menjadi 98%. Mereka mayoritas sekaligus minoritas di Pulau Bali.
Mahasiswa Departemen Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia telah melakukan mini research tentang keunikan komunitas muslim ini pada 12 Desember 2014 lalu. Desa Pegayaman menjadi pilihan, dengan alasan terdapat adat istiadatberupa akulturasi kebudayaan Hindu-Islam yang masih dipertahankan di wilayah tersebut.
Desa Pegayaman merupakan bagian dari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng Bali. Secara geografis Kabupaten Buleleng berbatasan dengan laut Bali yang menghadap ke pulau Sulawesi. Letak geografis ini beperan sangat penting dalam melatarbelakangi hadirnya komunitas Muslim di Pulau Dewata. Pada tahun 1850 pasukan suku Bugis Raja Hasanudin melakukan ekspedisi dengan tujuan akhir Jawa atau Madura di bawah pimpinan Kraeng Galessong. Sayangnya sebelum sampai tujuan perahu yang mereka tumpangi harus kandas dan terdampar di Kabupaten Buleleng. Mereka kemudian menghadap kepada Raja Buleleng untuk melaporkan keberadaan mereka di wilayah teritori kerajaan Buleleng. Karena sikap mereka dianggap menjunjung sopan santun, Raja Buleleng mempersilahkan mereka tinggal di Singaraja untuk beberapa saat. Baru kemudian beberapa waktu setelahnya mereka dianjurkan untuk tinggal bersama saudara muslim lain yang sudah lebih dulu menetap di Desa Pegayaman. Maka sejak saat itu komunitas muslim di Pegayaman bertambah.
Jauh sebelum kedatangan suku Bugis, umat Islam yang pertama menetap di Pulau Bali adalah delapan patih dari Kesultanan Surakarta pada tahun 1639. Sebelumnya Raja Buleleng melakukan kunjungan persahabatan ke Kesultanan Surakarta. Kesultanan kemudian mengutus delapan patih tersebut untuk menemani Raja Buleleng pulang ke Bali. Mereka ditempatkan di wilayah yang saat ini bernama desa Pegayaman dengan tujuan untuk membantu Kerajaan Buleleng menghadang serangan musuh dari Selatan.Mereka selanjutnya menetap secara permanen di desa Pegayaman dan berbaur dengan masyarakat asli Bali, termasuk juga melakukan perkawinan dengan gadis asli Bali. Di sinilah awal mula terjadinya akulturasi Hindu-Islam.
Adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Bali yang dinilai tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits juga mereka serap dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja, penamaan orang-orang asli Pegayaman yang menggabungkan tradisi Bali dan Islam. Nama-nama khas Baliyang umumnya kita kenal seperti Wayan untuk penamaan anak pertama, Nengah untuk anak kedua, Nyoman untuk anak ketiga, dan Ketut untuk anak keempat.
Nama-nama tersebut kemudian disandingkan dengan nama khas umat Islam sehingga menghasilkan beberapa contoh nama di Desa Pegayaman yakni I Wayan Hasyim (beliau dikenal sebagai sejarawan dan buadayawan di Desa Pegayaman). Kemudian ada I Nyoman Sa’dain, Nengah Ibrahimdan Ketut Syahruwadi Abbas.
Akulturasi budaya Bali, agama Hindu, dan agama Islam terlihat juga di desa ini pada beberapa hal, contohnya seni burdedan sokok base. Seni burde adalah perpaduan lantunan sholawat,seni tabuh dan gerak tari Pegayaman yang nada lagu dan tariannya mirip dengan seni tradisional Bali. Sementara sokok baseadalah rangkaian daun sirih, kembang, buah, dan telurpada batang pisang sebagai sarana upacara di pura bagi umat Hindu.
Proses akulturasi tentu tidak akan terjadi jika tidak ada sikap saling menghormati dan menghargai antara umat di Desa Pegayaman. Sikap itulah yang menjadi perekat dari perbedaan yang ada. Sikap toleran dari Raja Buleleng yang beragama Hindu dalam memperlakukan umat Islam beberapa abad silam seolah menjadi teladan bagi masyarakat Desa Pegayaman dan sekitarnya untuk selalu menjaga kerukunan kehidupan beragama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H