Sudah sejak jaman Manual Keuangan Daerah (makuda) pemerintah pusat memberikan kewenangan penuh kepada setiap Provinsi/Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut daerah). Pusat tidak sekedar omong kosong tapi ditunjukkan dengan contoh nyata. Contoh yang paling mudah adalah dengan penerbitan formulir-formulir isian pertanggungjawaban keuangan daerah. Ada formulir buku besar penerimaan (B4) atau buku besar pengeluaran (B5). Pusat tidak lupa mencantumkan kata 'contoh' di sudut kanan pada setiap formulir tersebut.
Permasalahannya dimulai dari 'contoh' ini. Dengan lugunya, daerah mencantumkan pula kata 'contoh' pada setiap formulir yang dicetaknya masing-masing. Jadi, mana formulir yang asli kalau semua hanya 'contoh'. Metode ini terbawa terus sampai kemunculan peraturan perundangan turunan seperti berbagai permendagri. Lebih dahsyat lagi, permendagri pertama setelah makuda (29/2002) tidak hanya mengatur formulir tapi juga mengubah kode rekening dan kode akun. Daerah semakin kelabakan menghadapi gempuran mendadak seperti itu. Tidak cukup 5 tahun untuk memperbaiki sistem yang terlanjur 'cinta' dengan sistem lawas.
Hingga akhirnya pusat merasa kapok dengan berbagai peraturan perundangan keuangan daerah yang dibuatnya sendiri. Kebablasan dengan melahirkan peraturan tanpa terintegrasi satu dengan lainnya akhirnya keluarlah peraturan pengikat yaitu PP 58 tahun 2005. PP ini seakan penebus rasa bersalah pusat dengan mengembalikan esensi hubungan keuangan pusat daerah ke khittah asalnya, yaitu khittah Soeharto dengan makuda-nya. Khittah makuda yang menjadi tulang punggung PP ini adalah khittah 'contoh'.
PP mengisyaratkan daerah kembali pada kebutuhannya masing-masing. Kebutuhan yang telah dirumuskan secara otomatis akan menciptakan jenis formulir yang diperlukan. Pusat sepertinya paham benar akan pluraritas daerah. Oleh karenanya pusat tidak mendikte secara kaku tentang teknis perumusan kebutuhan termasuk kebutuhan pertanggungjawaban keuangan daerah. Pusat hanya meminta keseragaman penyajian. Bukan keseragaman cara penyajiannya. Andaikata pusat minta dimasakkan soto ayam, maka daerah dipersilakan menggunakan berbagai cara untuk menghasilkan soto ayam. Mau kuahnya dibuat terlebih dahulu boleh saja. Mau ayamnya direbus atau dipresto ya terserah. Prinsipnya, soto ayam yang tersaji, bukan soto sapi, apalagi soto kuda.
Prinsip, dan bukan cara, diwujudkan dengan PP selanjutnya yaitu PP Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). SAP meminta daerah menyajikan akuntabilitas yang dapat dibaca semua pihak yang berkepentingan. SAP adalah cara baca pertanggungjawaban keuangan daerah. Setiap orang akan membaca Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LPKD) dengan persepsi yang sama apabila memiliki alat penerjemah yang sama yaitu SAP. Analoginya mudah saja. Apa yang kita ucapkan apabila kita disodorkan huruf 'A'. Apakah kita akan membacanya 'B'. Pertanyaannya kemudian, mengapa ketika disodorkan huruf 'A' kita dapat mengucapkan bunyi yang sama? Nah, SAP adalah huruf 'A'. Sedangkan sistem akuntabilitas yang diwujudkan dengan berbagai formulir adalah cara menggambar huruf 'A'. Andaikata huruf 'A' digambar dalam bentuk lain seperti: 'a'; 'A'; atau 'A', akan mengubah bunyi yang dikeluarkan. Tentu tidak. Oleh karena itu, pemerintah pusat tetap kembali ke khittah awal yaitu silakan susun sistemnya sendiri asalkan sesuai dengan SAP.
Dirangkum menjadi satu, usaha pemerintah mengembalikan khittah sudah dilakukan sejak tahun 2005. Tidak tinggal diam begitu saja, pemerintah pusat membantu menerbitkan beberapa peraturan pembantu sebagai 'contoh'. Namun ternyata daerah memiliki penangkapan yang berbeda. Lebih suka disodori daripada diminta menyusun sendiri.
Ada satu analisis yang terlewatkan. Daerah butuh pemahaman bukan contoh. Daerah tahu hasil hitung 1+1 adalah 2. Tapi daerah tidak paham mengapa harus menghitung 1+1. Daerah juga belum paham apakah harus 1+1, bagaimana bila daerah menghitung 0,5+0,5 atau 2+2. Sejak tahun 2005 pusat memberikan sosialisasi teknis, bukan mengapa-nya. Maka wajar bila sampai 5 tahun berikutnya daerah tetap menunggu kelanjutan teknis keuangan daerah.
Bukan tambahan peraturan lagi yang dibutuhkan daerah, tapi pernyataan pusat secara tertulis bahwa daerah dipersilakan memahami suatu esensi keuangan daerah yaitu SAP dan sistem akuntansi. Jika tidak, maka sama saja bahwa pusat tidak mendukung daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H