Mohon tunggu...
Silvi Amelia Widyarti
Silvi Amelia Widyarti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Silvi mahasiswa jurusan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan saya senang menulis dan menuangkan opini saya lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Generasi Fatherless: Mengapa Mereka Takut Menikah?

14 Juni 2024   19:55 Diperbarui: 14 Juni 2024   21:24 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Angka pernikahan di Indonesia turun drastis menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, di tahun 2023 jumlah pernikahan 1,57 juta dibandingkan dengan 2022 turun sebanyak 128.000, jika dibandingkan dengan 1 dekade sebelumnya sudah 28,63% turun, atau berkurang sekitar 632.000 pernikahan dan penurunan ini terjadi diseluruh Indonesia. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap fenomena ini adalah meningkatnya jumlah anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah, atau yang dikenal dengan istilah fatherless. Fenomena fatherless tidak hanya berdampak pada perkembangan psikologis anak, tetapi juga berdampak signifikan terhadap keputusan generasi muda untuk menikah.

Indonesia memasuki peringka ke 3 Fatherless Country (Negara Tanpa Ayah) fenomena fatherless ini muncul akibat hilangnya peran ayah dalam keluarga, Anak tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran ayah baik secara fisik maupun psikologis. Menurut ahli ini disebabkan budaya pariarki yang membagi peran sesuai gender yang menyebabkan ayah sulit terlibat dalah pengasuhan anak. Fatherless dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kematian ayah, perceraian orang tua, atau ayah yang tidak bertanggung jawab. Padahal baik ibu maupun ayah mempunyai peran yang sama-sama besar dalam mendidik dan membesarkan anak, saat anak kehilangan salah satu peran tersebut maka akan ada dampak-dampak buruk yang bisa terjadi dalam pertumbuhannya.

Salah satu Penyebab fatherless country, adalah angka perceraian yang tinggi. Perceraian menjadi salah satu penyebab utama fatherless di Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perceraian di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2022, tercatat ada 583.266 kasus perceraian di Indonesia. Angka ini meningkat 15,31% dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743 kasus

Tanpa figur ayah, anak-anak mempunyai panutan dalam membangun hubungan yang sehat dengan lawan jenis. Hal ini dapat membuat mereka sulit berkomunikasi, memahami pasangan, dan menyelesaikan konflik. Akibatnya, mereka mungkin merasa tidak yakin atau ragu tentang kemampuan mereka untuk menjalani pernikahan yang sukses. Ketidakhadiran ayah dapat merusak rasa percaya diri dan menimbulkan rasa insecure pada anak, terutama anak perempuan. Hal ini dapat membuat mereka sulit mempercayai orang lain dan takut untuk berkomitmen dalam pernikahan. Pengalaman ini bisa membuat mereka memandang pernikahan penuh risiko dan beban, sehingga memilih untuk menghindarinya.

Pengalaman masa kecil yang penuh dengan ketidakstabilan emosional dan ekonomi akibat ketiadaan ayah bisa mempengaruhi pandangan anak-anak tentang pernikahan. Mereka mungkin menyaksikan ibu mereka berjuang sendirian, menghadapi kesulitan finansial dan emosional. trauma akibat perceraian orang tua, perselingkuhan, atau kekerasan dalam rumah tangga dapat membuat mereka tidak percaya pada komitmen pernikahan dan takut mengulangi kesalahan orang tua. Ketakutan akan kegagalan pernikahan seperti yang dialami oleh orang tua mereka bisa membuat mereka cenderung menunda atau bahkan menghindari pernikahan.

Tekanan ekonomi juga menjadi faktor penting. Anak-anak yang tumbuh tanpa ayah mungkin merasa harus fokus pada pengembangan karier dan mencapai stabilitas finansial sebelum mempertimbangkan pernikahan. Mereka mungkin memiliki tanggung jawab finansial untuk membantu ibu mereka.  Mereka mungkin enggan memasuki pernikahan sebelum merasa benar-benar siap secara finansial dan emosional, untuk menghindari kondisi sulit yang mungkin mereka alami di masa kecil.

Ketika laki-laki dan perempuan memutuskan untuk membangun sebuah keluarga, maka keduanya harus memahami peran dan tanggung jawab masing-masing untuk saling melengkapi Laki-laki, sebagai figur ayah, memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan, arahan, dan teladan moral bagi anak-anak. Mereka juga bertanggung jawab dalam menyediakan kebutuhan finansial dan memberikan dukungan emosional serta keterlibatan aktif dalam proses pengasuhan dan pembentukan karakter anak-anak. Di sisi lain, perempuan, sebagai ibu, memiliki peran krusial dalam merawat dan mendidik anak-anak, serta menjaga keseimbangan dan keharmonisan rumah tangga. Selain itu, laki-laki dan perempuan juga memiliki tanggung jawab untuk saling mendukung, memahami, dan menghormati satu sama lain dalam menghadapi tantangan dan perbedaan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun