Mohon tunggu...
Silvi Alviah
Silvi Alviah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

nama saya silvi alviah sering dipangiil silvi, hoby saya memasak

Selanjutnya

Tutup

Book

99 Cahaya di Langit Eropa

28 Juni 2024   12:15 Diperbarui: 28 Juni 2024   12:15 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Pada zaman modern seperti sekarang ini, bahasan tentang konsep ketuhanan dan eksistensi agama tetap menjadi sesuatu yang urgen untuk diperdalam. Adanya kenyataan bahwa agama seringkali disalahkan sebagai pemicu konflik baik di dalam maupun di luar negeri membuat banyak pihak tertarik untuk mengupas konsep ketuhanan dan agama dari berbagai sudut pandang.  Berangkat dari hal tersebut, Islam merupakan agama yang pernah berjaya di masa-masa kegelapan dunia Barat. Dengan perantara kalam (pengetahuan dan teknologi), Islam dulu membawa cahaya di berbagai belahan dunia termasuk di Benua Eropa. Sayang sekali, kondisi sebagian umat Islam yang menyalahartikan "jihad" sebagai perang dan kekerasan kini telah membuat cahaya Islam kian lama kian meredup. Selain  itu, isu sekularisme yang kian berkembang di negara-negara maju secara pelan namun pasti mencabut akar-akar nilai keislaman yang telah ditanam bahkan tumbuh jauh sebelum majunya peradaban negara-negara maju tersebut.  

       Meskipun sudah banyak penulis yang mengupas tentang pengalaman sejarah dan kemajuan peradaban Islam di Dunia Barat masa lampau, namun terkadang hanya  berhenti pada sisi kejayaan dan keunggulannya. Umumnya para penulis luput melihat realitas yang ada pada saat ini di mana Islam sedikit demi sedikit mengalami perbenturan dengan dunia Barat, terutama di Eropa. Novel Islami karangan Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra yang berjudul 99 Cahaya di Langit Eropa merupakan salah satu literatur yang agak berbeda dengan buku-buku sebelumnya yang mengangkat tentang jejak Islam di benua Eropa. Sebagai sebuah catatan perjalanan, novel ini mengangkat pengalaman Hanum Rais dan suaminya Rangga Almahendra (tokoh utama dalam novel ini) yang menjelajahi beberapa tempat di benua Eropa selama 3 tahun perjalanan karir keduanya Perjalanan sepasang suami istri ini bermula dari domisili di Wina, Austria, kemudian menjelajahi Paris karena undangan konferensi, selanjutnya liburan muslim panas di Cordoba dan Granada, Spanyol berkat telpon sang ayah (Amien Rais) dan mengunjungi sahabat lama di Istanbul, Turki.  

    Bagian I menceritan tentang tempat tinggal penulis dan suaminya yang sedang menempuh studi doktoral di sebuah uniersitas di Wina, Austria. Disinilah penulis yang sedang kursus bahasa Jerman berkenalan dengan Fatma seorang imigran dari Turki yang kemudian bersahabat karib. Persahabatan mereka akhirnya membawa banyak cerita yang dianggap penulis sebagai pembelajaran tentang makna kehidupan yang sebenarnya dan juga tentang ajaran islam yang penuh cinta kasih dan kedamaian, Di bagian ini pembaca disuguhkan tentang bagaimana persepsi Barat terhadap Islam, salah satunya pada cerita turis asing yang memakan kue croissant seolah-olah memakan Islam (38-40), Namun di sini penulis memberikan pengertian yang baik untuk menanggapi hal negatif tentang Islam tersebut salah satunya dengan misi Fatma menjadi agen Islam yang damai teduh, indah yang membawa keberkahan di komunitas non muslim.

        Bagian II menceritakan tentang keindahan Paris yang tidak terbatas hanya pada Eiffel dan pusat toko fashion dunia. Dengan unik, penulis menggambarkan Paris sebagai negara yang sangat sekuler tanpa melepas sisi ketuhanan dan Islam di berbagai sudut. Penulis meneritakan tentang Voltaire yang atheis bahkan pernah membuat fragmen kontroversial tentang Islam ternyata mati dengan menyebut Tuhan (135-137) dan Museum Louvre yang pernah ditulis oleh Dan Brown dalam novel Da Vinci Code dari sudut pandang Kristen-sekuler, kali ini digambarkan dengan sudut pandang Islam yang berbeda. Hal yang tak kalah menarik untuk diperhatikan ialah di bagian ini, Rangga, suami penulis, ketika menghadapi kendala solat dan pertanyaan-pertanyaan skeptis tentang agama dan ketuhanan oleh seorang atheis bernama Stefan. Dengan pengandaian ibadah seperti premi asuransi Rangga berhasil membuat stefan nyakin bahwa tuhan memang benar ada.

          Dibagin ke III penulis menceritakan tentang kejayaan Islam di Spanyol yaitu tepatnya di kota Cordoba dan Granada. Hal yang menarik ialah tentang Mezquita yang dulunya sebuah masjid besar namun kini berubah menjadi Gereja Kathedral. Selain itu tentang Granada yang merupakan Dinasti Islam terakhir yang mencoba bertahan di Spanyol. Di bagian cerita ini, pembaca dapat menyimpulkan bagaimana Islam waktu itu sangat menghargai pluralitas di masyarakat. Keberadaan mihrab Mezquita yang tidak sepenuhnya menghadap Ka'bah sebab tidak ingin meruntuhkan gereja kecil merupakan salah contoh bahwa Islam juga menghormati agama berbeda. Cerita di bagian ini semakin berkesan karena pembaca dapat mengambil pelajaran melalui sudut pandang Sergio, guide lokal beraliran agnotic, yang mengganggap bahwa perang salib sesungguhnya bukan perang agama melainkan perang kekuasaan dan meskipun ia  tidak beragama namun tujuan utamanya tetap berbuat baik terhadap sesama manusia (285-291)

            Di bagian IV menceritakan tentang pertemuan kembali penulis dengan sahabat lamanya yang sempat menghilang, Fatma dan kenyataan pahit bahwa Ayse, anak Fatma, meninggal karena leukemia. Meskipun demikian di bagian ini tetap mengungkap tempat-tempat megah dan bersejarah di Turki seperti Blue Mosque, Tapkapi Palace dan Hagia Sophia. Di samping itu, penulis juga menceritakan tentang asal usul Tulip yang ternyata aslinya berasal dari Turki, bukan Belanda, yang menambah keunikan novel ini.

        Meskipun demikian ada beberapa hal yang tak luput dari kekurangan. Bab pertama setelah prolog terdapat bab overture (pembuka) yang seolaholah menceritakan kondisi Eropa Barat beberapa abad lalu terasa kurang sinkron dengan cerita-cerita di bab selanjutnya. Meskipun di awal Bab II penggalan kisah dari overture diulang kembali, namun dengan penokohan yang agak samar, maka agak sulit bagi para pembaca untuk menangkap maksud dari penulis  menambahkan overture di dalam novel ini.

         Selain itu, sebagai catatan perjalanan seorang muslim, kebanyakan isi novel ini mengangkat sisi "perjalanan" penulis dari sudut pandang sejarah Islam dan deskripsi tempat-tempat yang dikunjungi. Namun "bumbu" dalam novel sangat penting untuk menambah cita rasa alur cerita yang dapat "membekas" di hati para pembacanya. Di sini, penulis menambahkan personal feeling (perasaan pribadi) yang sebagian besar bersifat serius dan bahkan agak mellow dramatic tanpa tidak diimbangi dengan nuansa humor. Padahal keberadaan humor sangat penting untuk menjaga mood pembaca dalam mengusir kejenuhan membaca.

             atas segala kekurangannya, kehadiran novel Islami ini sangat bagus kehadiran novel Islami ini sangat bagus untuk membuka cakrawala setiap orang dari berbagai kalangan, baik Muslim maupun Di Non Muslim, untuk menelusuri sudut-sudut Eropa yang seringkali terlewati oleh para traveler kebanyakan tanpa mengurangi esensi keislaman. Kolaborasi deskripsi sejarah tentang kejayaan Islam dan penjelasan stereotype-stereotype Barat tentang Islam kekinian pelan-pelan mampu mengantarkan pembaca pada pemahaman yang baik tentang ajaran agama Islam yang sebenarnya dan jauh dari kesan doktrinasi atau justifikasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun