Politik Hukum disebut sebagai legal policy, yaitu penentuan kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu atau dalam undang-undang tertentu yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Pelaksanaan legal policy melalui politik hukum dilaksanakan secara nasional oleh pemerintahan. Di Indonesia sendiri, praktek pelaksanaannya dengan melalui pembaharuan materi hukum. Adapun pembaharuan materi hukum harus mempertimbangkan kesesuaian terhadap kebutuhan masyarakatnya.
Salah satu bentuk politik hukum islam di Indonesia adalah adanya pembentukan Kompilasi Hukum Islam atau biasa disingkat  KHI. KHI merupakan  kumpulan hukum Islam praktis yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci dan merupakan produk pemikiran manusia akan fiqh. KHI berisi pemahaman terhadap Allah yang tertera dalam nash Al-Qur'an dan juga pemahaman terhadap Rosulullah.
Dalam sejarah sebelum ada KHI, banyak terjadi disparitas putusan dalam peradilan karena pada saat itu belum ada kitab hukum Islam yang bersifat unikatif dan memiliki kekuatan seperti hukum positif. Hal tersebut pada saat itu mengakibatkan kesewenang-wenangan penyelenggaraan fungsi peradilan dalam pergulatan dan pertarungan kitab-kitab fiqih. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran pembentukan KHI.
KHI  sebagai hukum Islam yang berlaku di Indonesia telah mendapatkan justifikasi yuridis dengan INPRES (Instruksi Presiden) Nomor 1 Tahun 1991. Sejarah politik hukum Islam dalam pembentukan KHI diaggap kurang sempurna karena pengesahannya tidak melalui badan legislatif sebagaimana rancangan undang-undang pada umunya, bahkan KHI diakui  sebagai jalan pintas dalam penetapan dan mempositifkan hukum Islam. Selain itu, inpres atau instruksi  presiden dinilai tidak mempunyai kekuatan mengikat pada seluruh warga negara sebagaimana Rancangan Undang-Undang. Meskipun demikian KHI tetap dijadikan rujukan hakim-hakim di Pengadilan Agama dalam menangani dan memutuskan perkara.
Legalisasi KHI merupakan fenomena politik yang unik, karena hukum Islam merupakan peraturan Allah yang mengatur segala aspek kehidupan manusia seharusnya menjadi aturan yang mengikat tanpa ada justifikasi proses legislasi badan atau institusi tertentu. Pada saat itu para pencetus KHI menggunakan jalan pintas dengan tanpa menempuh perumusan RUU yang panjang dan harus sampai kepada pembahasan di DPR. Hal ini terjadi karena faktor iklim politik, psikologis yang terjadi lebih besar kendalanya di satu sisi yang lain juga karena keberadaan Peradilan Agama secara konstitusional telah diakui dlnamun pada sisi yang lain Peradilan Agama belum memiliki kitab hukum perdata Islam sebagai rujukannya. Hal tersebut terjadi seiring dengan datangnya perkara yang diajukan di Peradilan Agama, karena tidak mungkin mewujudkan pembentukan kitab atau Undang-Undang Hukum Perdata Islam dalam waktu singkat, maka alternatifnya menempuh jalur terobosan singkat melalui formil kenegaraan dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam yang saat ini kita kenal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H