Mohon tunggu...
Silvia Durrotun Nafisah
Silvia Durrotun Nafisah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Haii

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemilu, Aksi Aparatur Negara yang Suka Menyuapi Kelas Bawah

1 Oktober 2024   00:29 Diperbarui: 1 Oktober 2024   00:29 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemilihan umum merupakan bentuk demokrasi dalam menentukan arah pembangunan suatu negara. Namun, ditengah kemegahan dan pesta demokrasi terdapat isu-isu yang sering terabaikan. Praktik uang suap yang tersembunyi ditangan orang-orang yang berkuasa dengan mengubah aturan dan kepercayan masyarakat dengan selembar kertas merah. Dalam konsep ekonomi dan kemanusiaan hal ini menjadi persoalan serius yang merugikan pihak tertentu khususnya masyarakat.

Kondisi sosial di Indonesia yang di dominasi oleh golongan menengah dan miskin menjadikan kondisi tersebut banyak dimanfaatkan oleh elit politik untuk mempertahankan kekuatan mereka. Tingginya angka kemiskinan, pengangguran, serta ketimpangan ekonomi menciptakan situasi dimana masyarakat menjadi objek manipulasi politik. Banyak sekali politikus yang memberikan uang untuk mendapatkan suara. Di tengah situasi pemilu, politikus kerap menggunakan kondisi kemiskinan ini sebagai celah untuk memuluskan langkah-langkah mereka dalam meraih kekuasaan, salah satunya melalui praktik suap uang pemilu.

Kemiskinan tidak melulu soal kekurangan uang, melainkan keterbatasan akses pada berbagai kebutuhan seperti pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja. Masyarakat miskin cenderung berada dalam posisi yang rentan dan terbatas dalam memilih, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun politik. Hal ini memudahkan mereka menjadi objek manipulasi politik akibat kurangnya informasi. Disinilah para penguasa yang haus akan kekuasaan mengambil celah. Melalui suap uang pemilu mereka memanfaatkan kondisi ekonomi yang lemah ini dengan menawarkan sejumlah uang atau bantuan sebagai imbalan suara. Sehingga masyarakat yang memiliki tekanan ekonomi, tawaran tersebut menjadi salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan mereka. 

Politik uang menjadi jalan pintas untuk meraih simpati masyarakat miskin. Apalagi masyarakat miskin yang lebih rentan menerima iming-iming materi. Baik berupa uang maupun kebutuhan pokok sebagai balas jasa suara mereka. Ironisnya, tindakan ini bukan hanya merusak integritas proses demokrasi, tetapi juga sebagai praktek penyuapan uang. Tak sedikit politisi yang terlibat dalam tindak pindana seperti korupsi dan suap. Hal ini yang membuat Indonesia belum menjadi negara maju usai tahun 1945. Banyak sekali program-program pemerintah yang dikorupsi sehingga pada pelaksanaanya tidak berjalan dengan semestinya. Mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tak kunjung naik dan angka kemiskinan tak kunjung menurun. 

Ekonomi kerakyatan adalah konsep yang bertujuan untuk memberikan keadilan ekonomi kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama rakyat kecil. Indonesia menganut ekonomi kerakyatan karena merupakan implmentasi dari sila ke 5 pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga ekonomi kerakyatan merupakan implementasi dari sila tersebut yang cocok untuk sistem ekonomi yang ada di Indonesia yang mengutamakan keadilan bagi rakyatnya. Dengan memperkuat sektor ekonomi rakyat, seperti koperasi, usaha kecil dan menengah (UKM), serta sektor pertanian, ekonomi kerakyatan berupaya menciptakan pemerataan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan.

Namun, praktik penyuapan uang dalam pemilu justru bertolak belakang dengan semangat ekonomi kerakyatan. Para politisi mengandalkan uang mereka untuk membeli suara, biasanya berasal dari kalangan elit yang memiliki kekuasaan besar yang tidak peduli pada nasib rakyat kecil. Alih-alih memajukan ekonomi kerakyatan, politik justru memperdalam jurang ketimpangan ekonomi karena hanya segelintir orang diuntungkan dari kegiatan tersebut. Penguasa yang terlibat dalam kegiatan suap ini menjadi penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi kerakyatan. Mereka lebih mementingkan kebijakan yang menguntungkan bagi kelompoknya saja, sementara kebijakan yang lain sering mereka abaikan. Dengan demikian, bantuan uang yang diberikan kepada masyarakat miskin selama pemilu hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan masalah kemiskinan itu sendiri.

Ekonomi kerakyatan sebenarnya bisa menjadi jawaban atas masalah kemiskinan yang sering dimanfaatkan dalam politik kotor. Dengan memperkuat ekonomi ekonomi kerakyatan, masyarakat miskin tidak akan lagi menjadi target empuk bagi para politisi yang mencari kekuasaan politik melalui hak suara mereka. Namun, dalam mewujudkan hal ini diperlukan komitmen kuat dari pada pemimpin politik untuk tidak terlibat dalam praktik penyuapan serta memiliki rancangan kegiatan yang jelas dalam memberdayakan dan memajukan perekonomian kelas bawah.

Suap dalam pemilu merusak tatanan demokrasi yang telah dibuat dan menghambat upaya pemberdayaan ekonomi rakyat. Uang yang di gunakan terkadang berasal dari kegiatan ilegal seperti hasil korupsi, perdagangan narkoba, atau bisnis ilegal lainnya guna membiayai kampanye besar-besaran dan janji kosong pada masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari banyak pejabat negara yang terkandung kasus di atas. Akibatnya, pemimpin yang terpilih bukanlah mereka yang memiliki kemampuan dan tekad untuk memajukan kesejahteraan rakyat, melainkan mereka yang pintar menggunakan kekuasaan meraih kekuasaan.

Di sisi lain, masyarakat yang menerima uang atau barang tersebut akan merasa berhutang budi dan tidak memikirkan tentang visi dan misi calon dalam pemilu. Tidak peduli bagaimana latar belakang dari pencalonan, yang mereka pedulikan hanyalah dari siapa uang yang mereka terima. Hal ini mengakibatkan kurangnya kontrol sosial terhadap pemerintah dan semakin memperparah masalah korupsi serta ketidakadilan ekonomi di Indonesia. 

Ketika masyarakat tidak lagi peduli dengan kebenaran dan keadilan, semuanya yang terlihat hanyalah uang. Padahal, peran masyarakat sangatlah penting. Seharusnya masyarakat berperan sebagai pengawas dan penyeimbang kekuasaan, sebagaimana rakyat merupakan posisi tertinggi dalam pemerintah. Semua ada di tangan rakyat, namun dengan adanya suap ini posisi tersebut tergeser. Rakyat tak lagi menempati posisi paling atas, rakyat kini di geser dengan uang. Uang yang di berikan untuk membeli hak suara. Kita harus bersuara atas ketidakadilan dan kebijakan yang merugikan tersebut, menyuarakan kebebasan bukannya menerima keadaan.

Untuk mencegah praktik suap dalam pemilu, diperlukan penegakan hukum yang tegas dan efektif. Terdapat badan pengawas yang bertugas seperti BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) memiliki peran penting dalam mengawasi aliran dana dalam proses politik. Selain itu perang positif masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam mengawasi dan melaporkan segala bentuk kecurangan yang terjadi selama pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun