Belajar tak melulu hanya soal teori belaka, bukan selalu tentang masalah yang butuh dipecahkan oleh rumus atau logika. Bukan pula tentang perjuangan dan air mata hanya demi mengejar nilai yang sempurna, namun nantinya bisa hilang begitu saja. Pada umumnya kita memandang bahwa belajar di sekolah atau kampus hanya sekedar datang, mendengarkan penjelasan materi dari Bapak Ibu guru atau dosen, mengerjakan tugas atau latihan soal yang mereka berikan, lalu pulang dan melanjutkan kegiatan atau berorganisasi. Kemudian setiap pertengahan dan akhir semester akan menghadapi test atau ujian, hasil nilai yang baik menjadi salah satu standar bahwa seseorang dianggap pintar dan rajin, sedangkan nilai yang buruk dianggap bodoh dan malas. Setiap naik kelas atau lanjut ke semester berikutnya, mereka akan mengulangi hal yang sama yaitu datang, mendengarkan, mengerjakan, pulang, ujian, selesai. Bahkan hal-hal tersebut akhirnya hanya menjadi rutinitas belaka bagi mereka. Mereka tidak mendapatkan sesuatu hal yang baru atau sesuatu yang berharga dan bisa berguna untuk mereka suatu hari nanti. Padahal dalam belajar tujuan terpenting bukan hanya tentang nilai, bukan tentang hasil yang harus sempurna dan memuaskan, tetapi yang lebih penting adalah prosesnya. Bagaimana ketika kita gagal dan terjatuh kita tidak mudah putus asa, tidak menyalahkan diri sendiri, keadaan, apalagi sampai menyalahkan orang lain. Melainkan kita bisa merefleksikan diri apa yang membuat hal tersebut gagal atau apa yang membuat kita menjadi jatuh, lalu mencoba mencari beberapa solusi atau penyelesaiannya dan kita implementasikan, bila masih gagal juga kita bisa terus coba sampai menemukan solusi dan jalan yang tepat atas permasalahan yang ada. Dengan terus mencoba kita bisa mendapatkan banyak hal yang baru dan itulah yang disebut dengan pengalaman dalam proses belajar. Nah, dalam kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai suatu proses belajar dimana pengalaman yang akan menjadi media atau pembelajarannya atau biasa kita sebut dengan istilah experiential learning.
Experiential learning merupakan suatu pembelajaran yang dilakukan dengan cara refleksi dan juga melalui suatu proses pembuatan makna dari pengalaman secara langsung. Teknik ini lebih berfokus kepada proses pembelajaran untuk masing-masing individu. Jadi, peran guru atau dosen disini nantinya hanya akan mengarahkan proses pembelajarannya akan seperti apa atau bagaimana dan selebihnya akan membiarkan siswa atau mahasiswa tertarik secara alami untuk belajar tanpa disuruh atau dipaksa oleh mereka. Metode ini dianggap lebih efektif sebab dengan metode ini memungkinkan para siswa atau mahasiswa untuk belajar dengan memenuhi seluruh aspek yang penting dalam proses pembelajaran yakni kognitif, afektif, dan emosi. Dengan terpenuhinya seluruh aspek penting tersebut dalam proses pembelajaran membuat pemahaman para siswa dan mahasiswa menjadi lebih mendalam dan juga saat melakukannya akan sepenuh hati karena keinginan untuk belajar itu merupakan ketertarikan dari dalam dirinya sendiri bukan paksaan atau dorongan dari orang lain.
Dalam mata kuliah Kewirausahaan yang Saya ambil pada semester ini, Saya dan teman-teman diajak untuk mencoba mengimplementasikan metode experiential learning ini dalam project yang akan kami laksanakan secara berkelompok. Adapun tiap kelompok berisikan 10 orang yang dipilih secara acak sesuai urutan presensi, sehingga kami juga tidak bisa memilih ingin satu kelompok dengan siapa, terdapat perbedaan gender, program studi, latar belakang, agama, ras, suku, watak, sifat, kepribadian, dan banyak perbedaan lainnya yang mewarnai kelompok kami. Selain itu, kami juga harus bisa membuat suatu project yang dimana di dalamnya menggabungkan antara unsur Art dan Charity atau menggabungkan unsur seni dengan kemanusiaan. Kami bisa membantu para seniman asal Yogyakarta khususnya yang nama dan karyanya belum terlalu terkenal untuk memperkenalkan dan mempromosikan nama dan karya-karya mereka kepada khalayak umum serta karyanya tersebut nantinya dapat dikomersialisasikan. Sebab biasanya para seniman hanya memiliki skill atau kemampuan untuk menghasilkan atau menciptakan suatu karya lukis yang sangat indah dan memukau saja, tetapi mereka tidak memiliki ilmu untuk memasarkan dan menjualnya. Sehingga, kami sebagai mahasiswa ekonomi diajak untuk bisa mengimplementasikan ilmu kami secara nyata dengan membantu memasarkan dan mempromosikan karya lukisan dari para seniman tersebut. Kami dibebaskan untuk mengemasnya dalam bentuk bagaimana dan di atas media apa. Di sini kelompok kami memilih dua orang seniman asal Yogyakarta yaitu Bapak Nugro Wantoro dan seniman dari salah satu UMKM yang ada di Taman Sari. Seniman pertama yaitu Bapak Nugro Wantoro yang merupakan seorang seniman asal Yogyakarta yang memiliki istri asli dari Bali dan beliau memang lulusan dari sekolah khusus melukis yaitu SMSR Yogyakarta dan ISI Yogyakarta jurusan Seni Rupa Murni Lukis, sehingga ornamen yang tertuang pada karya-karya beliau memiliki ciri khas bernuansa Bali dan lebih ekspresif. Sedangkan, untuk seniman kedua yaitu seniman dari Waiki Kaos Lukis Jogja yang berada di Komplek Wisata Taman Sari yang dimana UMKM ini sudah berjalan cukup lama, dengan ciri khas yang menghasilkan karya lukisan dengan bermedia kaos dan menggunakan pewarna batik dengan teknik menguas. Kelompok kami sepakat bahwa tema untuk lukisan yang akan digunakan nantinya yaitu bernuansa tentang Yogyakarta, sebuah kota yang menyimpan sejuta rindu dan kenangan di setiap sudut kota dengan cahaya lampu kota yang menjadi ciri khasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI