Lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah menjadi masalah utama yang mempengaruhi berbagai sektor ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur. Nilai tukar rupiah yang melemah mengakibatkan kenaikan biaya impor bahan baku dan barang modal yang digunakan dalam proses produksi. Karena sektor manufaktur Indonesia sangat bergantung pada bahan baku impor, terutama untuk industri tekstil, elektronik, dan otomotif, Â Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2023, nilai tukar rupiah melemah sekitar 10% terhadap dolar AS, yang menciptakan tekanan besar pada sektor-sektor yang bergantung pada impor.
Pelemahan rupiah berarti bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menurun. Hal ini meningkatkan biaya produksi industri manufaktur karena bahan baku dan komponen impor menjadi lebih mahal. Biaya logistik, transportasi, dan finansial juga meningkat, sehingga membuat operasional industri semakin berat. Misalnya, pada Juni 2024, kurs rupiah mencapai Rp 16.412 per dolar AS, yang berarti biaya impor bahan baku dan komponen meningkat secara signifikan. Data dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menunjukkan bahwa pelemahan rupiah hingga Rp 16.400 per dolar AS sangat tidak kondusif bagi para pelaku usaha, serta berpotensi memberi dampak negatif terhadap stabilitas makro ekonomi nasional. Risiko peningkatan volatilitas pasar keuangan dan spekulasi dapat memberi tekanan terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Pada tahun 2024, depresiasi rupiah adalah yang ketiga terdalam di Asia Tenggara secara year to date (ytd), yang menunjukkan bahwa kondisi ini tidak hanya lokal tetapi juga global.
Â
Peningkatan biaya produksi ini memaksa banyak perusahaan untuk mengambil langkah-langkah drastis untuk mengurangi beban keuangan mereka. Salah satu langkah yang paling umum adalah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai upaya untuk menurunkan biaya operasional. Menurut laporan dari Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah PHK di sektor manufaktur meningkat drastis pada tahun 2023, dengan angka mencapai lebih dari 150.000 pekerja yang kehilangan pekerjaan dalam kurun waktu tersebut. dan data per Juni 2024 Data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa Januari hingga Juni 2024 naik sebesar 21,45% atau 32.064 Â orang pekerja yang kena PHK di industri tekstil Hal ini menunjukkan betapa krusialnya dampak pelemahan rupiah terhadap pasar tenaga kerja di sektor ini.
Badai PHK yang melanda sektor manufaktur juga berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Dengan banyaknya pekerja yang kehilangan pekerjaan, pendapatan keluarga menurun drastis, yang menyebabkan pengurangan pengeluaran konsumen. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat konsumsi rumah tangga pada tahun 2023 menunjukkan penurunan, dengan inflasi yang meningkat hingga 6% sebagai hasil dari kenaikan harga barang dan jasa. Penurunan daya beli ini memperburuk kondisi ekonomi, karena permintaan barang dan jasa menurun, dan sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi domestik semakin tertekan.
Dampak sosial dari PHK massal tidak bisa dianggap remeh. Pekerja yang kehilangan pekerjaan menghadapi berbagai kesulitan, mulai dari kehilangan sumber penghasilan hingga meningkatnya stres dan ketidakpastian ekonomi. Hal ini dapat berkontribusi pada peningkatan angka kemiskinan dan ketidakstabilan sosial. Program-program bantuan sosial dan pelatihan kerja menjadi sangat penting untuk membantu mereka bertransisi ke sektor lain atau meningkatkan keterampilan mereka agar lebih mudah mendapatkan pekerjaan baru.
Lebih jauh, PHK massal dan lemahnya rupiah dapat mengurangi daya saing sektor manufaktur Indonesia di pasar global. Dengan biaya produksi yang meningkat, harga produk Indonesia menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan produk dari negara lain yang memiliki mata uang lebih stabil atau biaya produksi yang lebih rendah. Hal ini dapat berdampak pada penurunan ekspor, yang pada gilirannya akan mempengaruhi neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi negara. Data perdagangan internasional menunjukkan bahwa ekspor Indonesia pada tahun 2023 mengalami penurunan signifikan, terutama untuk produk manufaktur.
Dalam menghadapi krisis ini, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang mendukung stabilitas nilai tukar dan mengurangi dampak negatif terhadap sektor manufaktur. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan meningkatkan intervensi pasar valuta asing untuk menstabilkan nilai rupiah. Selain itu, insentif untuk sektor manufaktur, seperti subsidi bahan baku atau insentif pajak, bisa menjadi strategi efektif untuk mengurangi beban biaya produksi.
Pemerintah juga harus fokus pada pengembangan program pelatihan dan peningkatan keterampilan bagi pekerja yang terkena PHK. Program-program ini dapat membantu mereka memperoleh keterampilan baru yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja yang sedang berubah. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga pelatihan kerja akan sangat penting untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan dan membantu pekerja beradaptasi dengan cepat.
Secara keseluruhan, lemahnya rupiah dan badai PHK di sektor manufaktur menunjukkan perlunya pendekatan yang menyeluruh dan terkoordinasi untuk mengatasi dampak ekonomi dan sosial. Dengan kebijakan yang tepat dan dukungan yang memadai, Indonesia dapat mengurangi dampak negatif dari krisis ini dan membangun fondasi yang lebih kuat untuk pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H