Mohon tunggu...
Silvia Jamila Ratna Ayu
Silvia Jamila Ratna Ayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

My self

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bidadari-bidadari Surga

28 Februari 2022   21:30 Diperbarui: 28 Februari 2022   21:33 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tere Liye, penulis novel yang terkenal di Indonesia kembali menerbitkan buku dengan alur cerita yang sangat menarik dalam buku yang berjudul "Bidadari-bidadari Surga". Buku setebal 374 halaman ini diterbitkan oleh Republika pada tahun 2008. Setelah menerbitkan buku yang sempat ramai diperbincangkan, yakni "Hafalan Sholat Delisa", "Moga Bunda Disayang Allah", Tere Liye kembali menerbitkan buku yang tak kalah menarik tiga tahun kemudian.

Novel berjudul Bidadari-bidadari Surga ini telah difilmkan pada tahun 2012. Keberhasilan Tere Liye dalam menciptakan novel yang berkisah tentang cinta kasih keluarga ini ditunjukkan dengan ramainya orang yang menonton film adaptasi dari novel tersebut.

Novel ini berkisah tentang pengorbanan seorang kakak yakni Laisa, untuk adik-adiknya yakni Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta di Lembah Lahambay. Hal ini dilakukan oleh Laisa agar adik-adiknya dapat melanjutkan pendidikan meskipun dalam hal ini Laisa mengalami kesulitan dalam bekerja dibawah matahari untuk mengolah gula aren. Laisa digambarkan dalam novel sebagai sosok kakak yang galak, tegas, dan juga penyayang. Disisi lain, Laisa merupakan seorang kakak yang memiliki fisik yang tidak normal, rambut gimbal, berkulit hitam, dan juga gendut yang membuat penggambaran karakter Laisa semakin menarik dalam novel tersebut.

Meskipun novel Tere Liye sering kali dihubungkan dengan novel berbau romansa, tetapi pada novel ini Tere Liye sangat minim mengangkat hal tersebut. Sebagaimana gaya penulisan Tere Liye yang mampu membuat pembacanya terbawa suasana, melalui novel "Bidadari-bidadari Surga" ini Tere Liye mampu membawa pembaca hanyut dengan perjuangan Laisa untuk menghidupi dan juga mendidik adik-adiknya.

Konflik batin mulai dirasakan Laisa ketika Dalimunthe mulai menikah. Perasaan tidak enak yang dirasakan oleh Dalimunthe dan juga kegelisahan yang berusaha disamarkan oleh Laisa sangat kentara. Kemudian semua orang tiba-tiba sibuk menjodohkan Laisa tanpa memikirkan bagaimana perasaan Laisa setiap perjodohan yang ada mengalami kegagalan. Hal tersebut kemudian dapat teratasi ketika Laisa bertemu Dharma, yang mana saat dikenalkan oleh Dalimunthe masih beristri. Laisa yang awalnya mulai merasakan getaran di dadanya harus mengalami kekecewaan dikarenakan fakta bahwa terntata Dharma telah memiliki pasangan.

Hati Laisa semakin runtuh ketika menjelang pernikahannya dengan lelaki yang sudah beristri tetapi tidak mampu memberikan keturunan itu ternyata istrinya hamil. Laisa mencoba lari dari perasaan kecewanya dengan kembali menyibukkan diri di perkebunan dan berusaha tidak merasakan apa-apa. Perjalanan novel tersebut mengungkapkan perjalanan yang mampu menguras hati dan emosi para pembacanya.

Membaca novel ini berarti harus siap merasakan pedihnya perasaan dan juga kucuran air mata yang tidak bisa dihindari. Testimoni-testimoni yang ada di belakang buku Tere Liye pada akhirnya tidak berlebihan sama sekali karena memang begitulah adanya. Penggambaran karakter sempurna dari Laisa yang dibumbui dengan sulitnya kehidupan mampu menarik simpati bagi para pembacanya. Untuk isi dan bagaimana cara Tere Liye membawakan buku ini, rasanya tidak ada kritik yang bisa disampaikan.

Tere Liye membawakan novel yang serupa dengan Laskar Pelangi, yakni menceritakan tentang bagaimana kehidupan yang terjadi di daerah pedalaman. Meskipun demikian, kedua novel tersebut samasekali berbeda karena Tere Liye tidak pernah meninggalkan ciri khas-nya dalam setiap karya yang dibawakannya. Skeptisme yang muncul ketika melihat cover dan komentar-komentar dibalik bukunya seketika hilang ketika mulai membaca buku tersebut.

Tapi, tidak ada gading yang tak retak. Begitu pula tentang novel ini. Novel ini masih memiliki kekurangan, utamanya pada bagian covernya. Mungkin cover tidak lagi menjadi hal yang penting bagi para penggemar Tere Liye. Meskipun demikian, ini menjadi PR yang cukup penting untuk ditinjau kembali. Cover dari novel ini kurang menarik apabila ditinjau dari estetikanya. Pemilihan warna yang kontras tanpa maksud yang jelas dapat mengaburkan isi dari tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan cover tersebut. Selain itu, testimoni-testimoni tentang isi novel yang berada pada bagian novel cukup menganggu sehingga bisa dihilangkan saja.

Meskipun demikian, novel ini sangat patut untuk dibaca oleh pembaca. Kita dapat mengabaikan cover yang ada dengan berprinisp bahwa "jangan menilai buku dari covernya" karena isi dari buku tersebut sangat diluar ekspektasi dan juga mampu membawa kita dalam pelajaran hidup yang sangat berharga, yakni sebuah pengalaman spiritual yang bisa dirasakan meskipun hanya dari sebuah buku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun