Dalam sebuah grup chatting WA belum lama ini, teman menanyakan tentang produk makanan berupa coklat yang didapat dari temannya sebagai buah tangan dari Australia. "Halal ndak si? Kalo label halalnya sih ga ada. Tapi ingredients nya nabati semua" dan dia juga menambahkan ada indikasi keraguan tapi merasa sayang kalau dibuang.Â
Begitu kira-kira pertanyaanya walaupun dia sudah memprediksi jawaban yang akan dia dapat. Mungin kita juga pernah mengalami kegalauan seperti itu terhadap suatu produk yang pada kemasannya tidak terdapat label halal khususnya produk-produk impor namun ketika melihat bahan-bahan nya tidak mengandung unsur yang mengindikasikan haram. Seperti ketika saya ingin mencoba produk mie instan yang populer dari Korea Selatan yang kehalalannya pada waktu awal-awal keluar masih dipertanyakan.
Dewasa ini muslim menjadi segmen konsumen yang pertumbuhannya paling cepat di dunia. Sehingga perusahaan maupun produsen perlu mempertimbangkan pelayanan yang tidak hanya mengedepankan kualitas namun juga jaminan halal agar tidak kehilangan kesempatan yang ada.Â
Di berbagai negara, produk halal telah menjadi perhatian pelaku usaha dan menjadi trend dunia contohnya dalam pengembangan destinasi wisata halal. Kesadaran agama dan kepentingan konsumen dapat dijadikan motivasi produsen dalam melakukan sertifikasi halal. Selain itu, sertifikasi halal harus dipikirkan oleh para pelaku usaha sebagai investasi karena akan memperoleh keuntungan ekonomi dari jaminan kehalalan.
Jaminan Produk Halal
Halal itu jelas, haram itu jelas tetapi diantaranya ada yang syubhat (remang-remang). Peran auditor yang terdiri dari pari ahla LPH memastikan yang syubhat ini. Perlu diketahui bahwa suatu produk dikatakan haram bisa dikarenakan materialnya, akibatnya atau indikasi-indikasinya. Sebagai informasi, berikut ini indikasi barang haram menurut Fatwa MUI, antara lain :
- Najis (kotor)
- Khabits (menjijikan), contoh bekicot, ular. Indikator menentukan khabits adalah rasionalitas yang umum yang terjadi di masyarakat
- Dlarar (bahaya), bisa jadi barang itu suci tapi jika menimbulkan bahaya bisa menjadi haram
- Iskar (memabukkan)
- Juz'minal insan (bagian dari manusia), umumnya terjadi dalam perkembangan kosmetika. Contohnya plasenta manusia yang diolah oleh teknologi menjadi kosmetik
Jaminan produk halal menjadi tanggung jawab negara sebagai bentuk perlindungan konsumen muslim. Dalam hal ini pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk menyelenggarakan jaminan produk halal. Proses penerbitan sertifikasi halal akan melibatkan BPJPH yang membina dan mengawasi administrasi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengeluarkan fatwa, dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang terdiri dari auditor-auditor independen.
Oleh karena itu pelaku usaha asing maupun lokal termasuk pelaku UMKM sebaiknya segera mengurus kehalalan dengan melengkapi dokumen seperti komposisi produk, laporan pengujian, proses produksi, dan pendistribusian. Semuanya harus melewati sidang fatwa MUI karena standar fatwa halal MUI dapat berbeda dengan standar sertifikasi halal di luar negeri. Produk dengan label halal akan mendapat dampak yang positif dari konsumen dan membuat produk semakin populer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H