Ibu, aku ingin pulang.
Menjadi ketenangan. Aku takut pada kehidupan. Yang menepikanku jauh.
Atau, bolehkah aku pulang pada lautan saja? Riak ombak dan keras hentamnya kupikir lebih cepat meremuk badanku hingga binasa. Daripada aku hancur sedikit tapi sakit ulah cinta. Daripada hidupku menabung luka dan air mata.
Ibu. Aku ingin pulang saja, memeluk langit tinggi. Tidur di sana. Aku tak mau kembali lagi ke bumi. Bumi tidak adil padaku, Bu. Dia menawarkan buah-buahan segar untukku yang tengah lapar, saat hendak kucicipi satu diantaranya, bumi merebut buah itu dari tanganku secara paksa. Bumi bilang aku mencurinya, bumi bilang aku merampas tanpa bertanya siapa empunya. Manusia ikut menyalahkanku, Bu. Manusia turut menyudutkanku. Manusia beramai membenciku. Manusia mengutukku.Â
Salahku apa ibu? Salahkah ketika lapar, lalu ingin makan buah yang ditawarkan untuk mengganjal perih perutku? Aku selalu sabar menahan untuk tidak makan berhari-hari, bahkan sepanjang usia ini. Tapi aku juga ingin merasakan bagaimana mengentas keperihan dalam kekenyangan.
Mungkin benar, Bu. Buah-buahan itu bukan hakku, bukan milikku. Tapi punya bumi yang cuma diperbolehkan untuk manusia. Lalu aku apa? Bukan manusia atau memang bukan manusia?
Ibu, aku ingin pulang saja. Tidur di ayunan yang bergantung di dahan belimbing muda. Ibu, aku ingin disenandungkan kidung biru. Aku ingin lelap di lengan mentari ibu. Merengek, merajuk, bermanja, dipeluk dekap detak jantung ibu.
Ibu, katakan padaku, besok hari akan lebih baik. Besok kekasihku akan datang, menjemput untuk memberi kejutan. Katakan padaku, besok bulan purnama dan benderang, kekasihku memberikan sebuah lipatan undangan. Katakan sekali lagi, matahari akan cerah, dan orang-orang asyik bekerja, tertawa, berhias. Kemudian kekasihku menggandeng tangan kekasihnya menuju altar menjemput sumpah sakralnya. atau beberapa tahun kemudian, saat dia membimbing anak-anaknya pergi sekolah seraya bernyanyi riang.Â
Katakan padaku ibu, kekasihku adalah lelaki hebat, dan yang pantas berdiri di sebelah kirinya adalah wanita sederajat setingkat tepat, bukan melarat, keparat, bangsat, sepertiku. Katakan pada kekasihku, Bu. Aku ingin menangis untuk merahasiakan kebahagiaan ini, tapi aku akan tersenyum  bila dia lebih dulu menikah dariku di suatu pagi yang tidak terlalu cerah dan tidak pula nampak mendungnya. Saat tamu undangan memenuhi pesta sambil berucap selamat. Kutasbihkan doa yang menjelma cinta atas keduanya dalam keikhlasan. Kekasihku dengan kekasihnya.
Ibu, aku ingin cepat-cepat melanglang jauh. Selepas bangun dari tidur, saat mata ibu masih mengantuk berat tak mau menyalang, ibu lelah menungguku yang tak tidur semalaman. Tapi aku ingin pamit ibu, Aku ingin terbang dan hilang, tidak ingin menganggu siapapun dalam ketenangan kebahagiaan.
Tapi bolehkah aku minta sesuatu?
Bolehkah aku balik pada rahim ibu?
Atau bolehkah aku tidak pernah jadi apapun sebelum hadir ke tempat itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H