1. Perbincangan Dua Merpati yang hendak Terbang.
(Perihal kesedihan yang tersirat dan bermakam di rentang Juni-Agustus)
Siang di bandul depan rumah dengan dua jendela kusam. Dua merpati bermenung mengumpul kerisauan,
dari sorot mata merpati nampak hitam dari dekat. putih-putih hilang timbul saat ditilik dari jauh.
Kedua merpati saling menatap, berpikir-pikir apa yang mau disampaikan.
Satu merpati memilih bergeming. Hanya linang di matanya yang lamur, membias di genangan air yang menetes dari ujung daun rambutan, keduanya bersamaan bersamaan jatuh menimpa tanah, air dari rambutan juga air mata merpati. Angin datang dari selatan menerbangkan air itu, membawa ke langit, seperti menyelipkan pesan. Tapi tidak ada yang bisa memafhumi, apa yang sebetulnya tersirat di hati merpati, dan mengapa air matanya tidak diizinkan menyentuh tanah bumi, tapi pantas di langit tinggi.
Merpati yang satu lagi, terdiam. Mematut-matut, lama. Lama sekali. Seperti tahu akan maksud merpati temannya. Semula merpati itu menengadah ke langit, ada pilu di matanya. Waktu seperti bergerak cepat di sana. Sehari terasa seratus hari lamanya. Hingga merpati kembali menurunkan tatapannya ke bawah.
Sebelum kedua merpati selesai berbincang dalam diam, hujan turun dengan lebat. Kedua merpati mengepakkan sayap, begitu pula senyumnya. Tapi ada tangis, yang tidak terlihat, ditutupi hujan deras. Sebelum matahari tersungkur di kaki barat langit, kedua merpati mengulur waktu-menghitung mundur, bergantian-siapa lebih dulu.
Sehembus dengan angin yang datang dari utara, merpati pertama terbang pula pertama. Sehembus angin barat, merpati kedua menyusul temannya. Merpati tersenyum, dari atas awan-awan putih kedua merpati menjatuhkan air mata. Air hujan yang turun bergantian, bukan hujan yang sesungguhnya. Tapi tangis kedua merpati, tangis terakhir. Tangis bahagia sebab akan pulang ke rumahnya.
Riau, Agustus 2021
2. Sebelum Bakda Subuh