[caption caption="Seorang ibu yang terus berjuang"][/caption]
Ibu ... Kasih seorang ibu, kasih yang tak menuntut balas, kasih tanpa mengharapkan pamrih. Kasih yang tulus, kasih yang tidak menghitung untung dan rugi.Â
Delapan belas tahun yang lalu, di pelataran parkir kampus yang berdiri megah, Universitas Atma Jaya, Jakarta seorang anak muda yang memiliki hati merenggang nyawa, ditembus peluru tajam tepat didadanya. Wawan, seorang mahasiswa yang merasa gerah atas ketidakadilan, yang berani keluar dari zona nyamannya untuk ikut bergerak dan bergerak menerobos kesenjangan ekonomi. Wawan menjadi martir dalam perjuangan untuk menghasilkan orde reformasi yang kita nikmati hari ini. Kebebasan yang kita miliki hari ini, keterbukaan informasi yang hadir di depan kita hari ini, dibayar dengan darah yang mengucur deras dari balik jaket almamater seorang pemuda yang tersungkur meninggalkan seorang ibu, ya ibu sumarsih.Â
Sumarsih hari ini, kembali melakoni kegiatan kegiatan aktivis layaknya wawan putranya. Setiap hari kamis, setiap minggunya, Sumarsih berdiri tegak dan berpayung hitam, menyampaikan suara dan pahit getir batin yang memuncak perasaan seorang ibu yang kehilangan anaknya. Terik mentari di depan Istana Kepresidenan, menempa seorang ibu tua Sumarsih untuk menjadi seorang aktivis hak asasi manusia. Hari ini, Sumarsih bukan lagi memperjuangkan wawan anaknya, namun hari ini, dia memperjuangkan ibu ibu lain, yang kehilangan anaknya, yang kehilangan suaminya karena dibunuh dan hilang.Â
Proses hukum semanggi 13 November 1998, Kasus kematian aktivis hak asasi manusia munir dan banyak kasus kasus hukum yang lain yang tidak terselesaikan di negeri ini, diwakili oleh mereka dalam diam, sunyi dan sepi. Aksi kamisan adalah aksi oleh para korban ketidak adilan dinegeri ini. Aksi kamisan merupakan kumpulan orang orang yang bersimpati kepada korban korban ketidak adilan hukum. Aksi kamisan didepan Istana Presiden yang tidak pernah marah karena tidak disambut Presiden. Aksi kamisan tidak memobilisasi apalagi memprovokasi, dalam diam mereka bersuara, dengan hati mereka menitip makna. Aksi kamisan adalah aksi tanpa provokasi, tak pernah patah hati apalagi membakar api.Â
Sudah 460 kan kali kamis mereka lewati, dan tak pernah mengeluarkan hasutan apalagi caci maki. Aksi diam dengan payung hanya ingin memastikan bahwa bangsa ini tidak lupa, bahwa ada ketidakadilan yang belum selesai di proses, mereka sabar dan tak pernah mengeluarkan ultimatum apalagi berbatas waktu. Tak sekalipun, Presiden yang selalu lewat didepan aksi ini berhenti dan menyapa sebagai penghibur luka, tak sekalipun saya dan anda, menyempatkan diri untuk sekedar menggenggam tangannya menyatakan bahwa kita bersimpati dan memahami kesedihannya. Tak ada media yang serius dan masif mencari jejak dan memberikan tempat kepada mereka untuk berkeluh kesah lagi dan lagi.Â
Ataukah kita semua sudah menganggap selesai pelanggaran hak asasi manusia yang dirasakan wawan, atau kita juga menganggap sudah wajar dan puas dengan penyelesaian kasus munir? Lalu bagaimana dengan pejuang pejuang demokrasi seperti wiji tukhul yang sampai hari ini, tidak tahu dimana rimbanya? Lalu kenapa kita diam dan membisu? Lalu apakah peserta Aksi Kamisan ini tidak perlu didengar suaranya sehingga tiada seorangpun Presiden dari Republik yang katanya berbudaya ini, menerima mereka ?Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H