Dusun Lewonu, Desa Lembatongoa, Sulawesi Tengah, Jumat (27/11/2020) dikejutkan oleh aksi pembunuhan satu keluarga yang sangat tidak manusiawi, para korban dipenggal dan satu korban dibakar yang menewaskan empat orang dan pembakaran enam rumah yang diduga dilakukan oleh kelompok teroris, yaitu Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Ali Kalora.Â
Berdasarkan keterangan saksi, pimpinan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Ali Kalora ikut dalam aksi penembakan tersebut.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan teror yang dilakukan oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) adalah karena mereka sudah kekurangan logistik, lalu mereka membunuh satu keluarga tersebut. "Saat ini mereka sudah dalam kondisi yang tidak memiliki logistik yang cukup, Artinya dengan cara inilah, dengan cara merampok, dengan cara membunuh masyrakat, karena kita tahu bahwa kelompok ini pengusung ideologi kekerasan. Jadi itulah salah satu cara untuk bertahan hidup," ujar Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar, Selasa (1/12/2020).
Menurut Kabid Humas Polda Sulteng, Kombes Didik Suparnoto, berpendapat bahwa aksi teror yang dilakukan oleh MIT tersebut bertujuan untuk menakut-nakuti masyarakat. "Jadi mereka bergerak ramai-ramai. (Hubungan MIT dengan keluarga yang tewas) tidak ada, jadi mereka kadang-kadang suka melakukan aksi secara acak. Namanya teroris, jadi melakukan tindakan teror untuk menakut-nakuti masyarakat," ujarnya.
"Peristiwa ini bukan perang suku, apalagi perang agama. Peristiwa ini dilakukan oleh kelompok kejahatan yang bernama Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Ali Kalora. Mereka tidak bisa disebut mewakili agama tertentu," kata Mahfud MD di kantor Kemko Polhukam, Jakarta, Senin (30/11/2020). Ia menjelaskan peristiwa tersebut dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan maksud meneror dan menciptakan suasana yang tidak kondusif di masyarakat.
Aksi teror yang dilakukan oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Sigi mengakibatkan banyak masyarakat masih takut beraktivitas. Walaupun kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) merupakan kelompok teroris kecil, tetapi cukup ditakuti karena Ali Kalora sang pemimpin kelompok pernah menjadi bawahan dari Santoso yang merupakan pemimpin dari aksi teror Poso, Sulawesi Tengah pada 18 Juli 2016.
Apabila dilihat dari perspektif teori konflik, pada masa sekarang ini di mana masyarakat berkembang semakin kompleks, dapat saja terjadinya penyimpangan peraturan tersebut karena si pelaku terbiasa hidup dalam kelompok lain yang nilainya berbeda bahkan saling bertentangan. Dalam pola pikir tersebut, masalah sosial dapat terjadi apabila dua kelompok atau lebih dengan nilai yang berbeda saling bertemu (Julian, 1986: 13). Situasi semacam ini dapat mendatangkan konflik, dan konflik tersebut disebabkan oleh nilai dan kepentingan yang berbeda. Hal tersebut sama dengan kasus yang terjadi di Sigi, Sulawesi Tengah. Di mana kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) melakukan teror yang meresahkan masyarakat dengan cara merampok, membunuh, dan melakukan pembakaran karena memang nilai dan ideologi yang dianut mereka berbeda dengan kebanyakan masyarakat umum.
Biasanya para kelompok teroris memiliki ideologi kekerasan untuk memenuhi tujuan mereka, seperti dengan cara Politik Ketakutan, di mana teror dirancang untuk menarik perhatian publik atas isu-isu tertentu melalui perusakan properti dan kekerasan fisik terhadap manusia. Dimensi publik (keberadaan audiens dan media) sangat diperhitungkan, padahal dulunya aksi teror dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi sekarang para kelompok terorisme memiliki prinsip "membunuh beberapa orang dan menakuti ribuan lainnya,". Â Ketakutan massal menjadi salah satu alasan penting mengapa aksi teror digencarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H