"Tulislah apa saja yang ingin kau tulis"
(Pramoedya Ananta Toer, penulis tetralogi Bumi Manusia)
Berawal dari pelajar yang numpang eksis setelah membuat akun sebuah media sosial bernama facebook, pemuda itu pun mulai gemar mengotak-atik akunnya. Barangkali sedikit takjub karena di media sosial sebelumnya--yang dikenal dengan nama friendster-- ia tak menemukan teman sebanyak dan seasyik ketika ia menjadi bagian dari facebook.
Awalnya hanya sekadar bermain-main foto profil dan fitur-fitur lain, namun pemuda itu tak menemukan passion di situ. Ia sendiri tak begitu tertarik foto. Terlalu grogi dan selalu terlihat tak natural tiap kali berhadapan dengan kamera, sehingga mulailah hasrat ingin diakuinya muncul dari arah lain: ia mulai membuat postingan status-status alay yang--pada zamannya--sedang ngetren.
Ia menikmati hobi barunya itu: menulis status, termasuk melihat jumlah like dan komen, karena tak bisa dipungkiri hasrat ingin mendapat pengakuan sedang panas-panasnya pada remaja-remaja SMA. Kesukaan menulis status meski masih belum berupa tulisan panjang terus berlanjut, bahkan hingga ia masuk ke perguruan tinggi.Â
Ia sangat suka membuat untaian kata-kata indah. Bahkan, virus merah jambu yang sempat menjangkitinya ketika di kampus menjadi salah satu motivasinya untuk menulis lebih baik, karena nantinya tulisan itu ingin ia perlihatkan pada orang yang ia sukai.
Seiring berjalannya waktu, cintanya kandas. Ia adalah seorang introvert, sehingga untuk tampil dan "menampilkan sesuatu" di depan publik menjadi sesuatu yang sangat sulit baginya. Ia sendiri merasa, tulisannya seharusnya tak hanya tentang cinta, tapi juga kehidupan.Â
Mulailah ia menulis di media sosial yang sama, namun dengan konsepan yang berbeda. Ia suka menuliskan fenomena yang pernah dirasakannya dalam kehidupan dengan bahasa yang sastrawi saat itu, meskipun sebenarnya bisa dikatakan masih amburadul. Nalurinya berkata, ia hanya ingin berbagi dengan orang lain.Â
Seorang penulis favoritnya, Fahd Pahdepie pernah berkata, "jika engkau menuliskan satu kata, kemudian kata itu membuat satu pikiran terbuka, satu hati terhangatkan, satu penat terbebaskan, apalagi yang kau minta? Kau telah menjadi penulis paling bahagia di dunia!" Berbagi, adalah pijakan awal baginya. Dan yang paling penting, ia telah menemukan passionnya. Ia menemukan setitik jiwa sastra pada dirinya.
Namun sayang, di beberapa akhir semester S1-nya, ia sempat mengalami stagnasi karya. Sekedar membuat postingan status saja hampir tidak pernah. Jiwanya sempat tertawan oleh keadaan. Ia sedang berjuang mencari dirinya yang hilang, dan itu membutuhkan waktu yang lumayan lama.