Tanggal 17 April 2019 telah lewat. Pesta demokrasi pilpres dan pileg diwarnai dengan berbagai kisah. Rakyat sudah menggunakan hak pilihnya, meskipun menurut LSI (Lingkaran Survei Indonesia) Denny JA, masih ada 19,27 persen angka golput. Mereka memilih dengan pertimbangan masing-masing. Namun pasca pemilu serentak itu, apakah kemudian semuanya selesai? Tidak. Ternyata pilpres masih ramai diperbincangkan.
Jika kita mau melihat lagi ke belakang. Pemilu tahun 2019 telah menorehkan luka-luka demokrasi pada ibu pertiwi. Masa kampanye lima bulan yang telah ditetapkan KPU justru terlihat menambah sejarah kelam demokrasi kita hari ini. Bahkan menurut Bambang Widjojanto, mantan komisioner KPK pemilu kali ini adalah pemilu yang teburuk pasca reformasi.
Bagaimana tidak? Kita masih ingat betul bagaimana sinisme menguat di kalangan masyarakat, terutama kalangan pendukung calon tertentu. Fanatisme dari pendukung dua calon yang diusung kemudian berbuntut pada penyematan istilah "cebong" dan "kampret" dari masing-masing lawan. Bahkan istilah itu tak berhenti didengungkan meskipun 17 April telah lewat.
Pengamat politik dari UGM, Wawan Masudi menjelaskan, Â sebutan cebong dan kampret awalnya dilakukan warganet guna mengelompokkan perbedaan pilihan politik masyarakat. Namun kemudian, yang terjadi bukan hanya pengkotak-kotakan saja. Suasana justru semakin memanas saat kubu lawan menyebut dengan istilah tersebut. Bagi penulis, cebong dan kampret adalah dua hewan tidak bersalah yang kemudian dikambinghitamkan demi kepentingan politik sesaat.
Dunia maya adalah saksi aktif dari perdebatan panas "dua binatang" tersebut. Menurut Asep Salahudin, media sosial menjadi medan paling nyaman untuk mempertontonkan ekspresi kebinatangan dan wilayah paling potensial menyalurkan otak primitif reptilian kita.
Kebencian, sumpah serapah, cacian, hinaan dan makian hampir setiap hari selalu bermunculan dari keduanya. Fitnah, hoaks dan kabar burung adalah makanan sehari-hari yang mau tak mau harus mampir di timeline kita. Tak jarang pula orang-orang waras terprovokasi dalam penyebaran dan pengafirmasian berita tersebut.
Di negara demokrasi yang lebih dewasa, menurut Wawan, orang bertarung di level ide, gagasan, kebijakan yang akan diimplementasikan, dan bukan di level identitas serta labelisasi. Sedangkan di negara kita, yang terjadi adalah saling serang argumen yang lebih mengarah pada "bagaimana lawan jatuh dengan berbagai cara" dibandingkan adu program dan adu gagasan demi kemajuan Indonesia.
Lebih parahnya lagi, para pendukung fanatis ini mulai pandai bersilat lidah ala politisi junjungan mereka. Sebenarnya, sudah jadi rahasia umum kalau politisi suka bohong. Yang bikin miris adalah, ketika pendukung kubu tertentu mengikuti cara kotor mereka, para politisi ini.
Saya beri contoh sederhana, ketika teman anda bertanya, "apakah solusi untuk gatal-gatal pada anak?" lalu anda menjawab, "gatal adalah sebuah gejala normal untuk anak-anak".
Barangkali benar ini adalah jawaban yang jujur, tapi hakikatnya anda belum menjawab pertanyaan tentang apakah solusi untuk gatal anak. Bisa jadi anda sebenarnya memang tidak tahu jawabannya, anda hanya sedang melakukan pembelaan agar "tak terlihat bodoh" dengan menyampaikan hal lain.