Dalam konteks ilmu, dakwah, dan retorika, nilai-nilai harus dihindari. Artinya, ilmu dakwah dan retorika harus dikembangkan hanya berdasarkan pada pengetahuan ilmiah. Keduanya tidak boleh dikembangkan berdasarkan pertimbangan lain, seperti adab, yang tidak berbasis ilmiah.
Meskipun ilmu dakwah dan retorika tidak memiliki nilai intrinsik, keduanya tetap terikat pada adab yang bersumber dari agama dan budaya. Adab ini menjadi pedoman dalam menyampaikan pesan dakwah dengan cara yang benar dan bertanggung jawab.
Penggabungan adab dan ilmu dalam retorika dakwah sangatlah penting. Ilmu tanpa adab dapat disalahgunakan, sedangkan adab tanpa ilmu menjadi tidak berdaya. Oleh karena itu, ilmu dakwah dan retorika harus digunakan untuk kebaikan dan kemudahan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan kata lain, tujuan utama ilmu dakwah dan retorika adalah untuk kemanusiaan. Adab berperan penting dalam memastikan bahwa ilmu tersebut digunakan dengan cara yang etis dan bertanggung jawab, demi mencapai tujuan mulia tersebut.
Dalam praktiknya, retorika dakwah melibatkan lebih dari hanya berdakwah secara efektif, efisien, menarik, dan atraktif. Ia juga melibatkan aturan kesopanan, keramahan, dan budi pekerti yang sangat tinggi. Dakwah sendiri awalnya subjektif, dogmatik, dan penuh nilai, serta berangkat dari budaya dan sistem nilai tertentu.
Retorika, ketika lahir dari budaya, berkembang menjadi seni berbicara, kemudian menjadi pengetahuan, dan akhirnya diakui sebagai ilmu. Pada titik tertinggi ini, retorika harus diikat oleh adab. Demikian pula, dakwah. Berawal dari dogma agama, lalu menjadi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang belum teruji secara ilmiah, lalu secara ajeg menjadi ilmu dakwah, pasti juga harus didampingi adab. Dalam berdakwah, kesopanan, keramahan, dan budi pekerti seorang dai melekat.
Memadukan adab dan ilmu dalam retorika dakwah memiliki dua implikasi. Pertama, menghindari komodifikasi dakwah. Komodifikasi dakwah mengubah dakwah menjadi komoditas atau barang dagangan. Sampai sekarang, komodifikasi dakwah berlindung di bawah payung profesionalisme dan manajemen. Seorang dai yang berilmu dan beradab menolak komodifikasi dakwah.
Dai dan mitra dakwah dilarang keras untuk menjadikan dakwah sebagai bisnis. Namun, mereka boleh mendakwahkan bisnis karena Nabi, para sahabat, dan ulama telah berprofesi sebagai pedagang. Seorang dai harus menghidupkan dakwah, bukan menggantungkan hidupnya dari berdakwah.
Kedua, memadukan ilmu, adab, dan ilmu dalam retorika dakwah akan membuat dai menjadi profesional dalam makna yang sebenarnya. Makna profesional bukan hanya tentang terkenal, memiliki manajer, dan harus dibayar, tetapi lebih tentang memiliki adab dan ilmu yang kuat dalam berdakwah dan beretorika.
Makna profesional dalam konteks ini tidak berarti tidak memiliki pekerjaan sebagai dai. Seorang dai boleh memiliki pekerjaan lain tanpa meninggalkan aspek profesionalisme. Sebab, makna profesional dalam konteks ini adalah menghayati sepenuh hati apa yang dikatakan dan mengamalkannya berdasarkan adab dan ilmu.