Pengembangan masyarakat yang berkelanjutan di Indonesia memerlukan paradigma baru yang mempertimbangkan hubungan antara budaya dan lingkungan. Ekologi budaya, sebagai wawasan pokok, menawarkan perspektif yang lebih luas dan holistik dalam mengembangkan masyarakat yang lebih berkelanjutan. Dalam konteks ini, ekologi budaya berfokus pada interaksi antara budaya dan lingkungan, serta bagaimana budaya mempengaruhi cara manusia berinteraksi dengan lingkungan. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa nilai-nilai budaya di Indonesia cenderung ekosentris dan biosentris, sehingga dapat disebut sebagai ekologi yang dalam (deep ecology).Â
Selain itu, nilai-nilai budaya juga mempengaruhi pengelolaan sumber daya alam secara bijak. Penelitian ini menunjukkan bahwa kearifan lokal sebagai ekologi budaya adalah wawasan penting dalam kegiatan pengembangan masyarakat karena tidak hanya membentuk kemandirian dan kekayaan, tetapi juga mempengaruhi cara manusia berinteraksi dengan lingkungan. Dengan demikian, ekologi budaya sebagai wawasan pokok dalam pengembangan masyarakat untuk pembangunan berkelanjutan di Indonesia menawarkan solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan dalam menghadapi tantangan lingkungan dan sosial.Tujuan dari tulisan ini adalah memberikan gambaran mengenai bentuk-bentuk pengelolaan sumber daya alam dan penanggulangan permasalahan lingkungan yang didasarkan kepada kearifan lokal sebagai wawasan untuk kegiatan pengembangan masyarakat. Menunjukkan bahwa kearifan lokal sebagai ekologi budaya merupakan wawasan penting dalam kegiatan pengembangan masyarakat karena tidak hanya membentuk kemandirian dan menciptakan kesejahteraan lebih dari itu, ekologi budaya merupakan pengejawantahan dari pembangungan berkelanjutan. Paradigma pertumbuhan ekonomi dari dulu sampai dengan saat ini tetap menjadi sorotan utama sebagai tolak ukur kemajuan ekonomi di Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi sendiri dapat dikatakan sebagai sebuah paradigma yang menekankan pada pendapatan per kapita sebuah negara. Hal tersebut terfokus kepada produktivitas sebuah negara dengan harapan dapat terwujudnya trickle down effect (usaha besar dapat memberikan dampak dengan cara membantu usahausaha kecil untuk berkembang). Â Berdasarkan hal tersebut, muncul paradigma atau strategi pembangunan people centered development (pembangunan yang berpusat kepada manusia yang dalam hal ini masyarakat lokal). Menurut Korten yang dikutip oleh Tjokrowinoto (1999) dalam Jamaludin (2016: 22), paradigma ini dapat memberikan tempat yang penting bagi prakarsa dan keragaman lokal, serta menekankan pentingnya masyarakat lokal yang mandiri. Manajemen pembangunannya mengubah peranan birokrasi pemerintah dari merencanakan dan melaksanakan pembangunan untuk rakyat, menjadi aktor dalam menciptakan kondisi yang menimbulkan kemandirian. Akan tetapi,menempatkan pemerintah sebagai katalis dalam mempercepat proses pembangunan yang berpusat kepada kemandirian lokal (Tjokrowinoto, 1999 dalam Jamaludin, 2016: 22)
Paradigma ini berpandangan bahwa seharusnya masyarakat bukan hanya sebagai objek dari pembangunan, melainkan subjek dari pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu, seharusnya mereka diberikan kuasa untuk melakukan pengelolaan sumber daya yang ada dengan dukungan dari pemerintah sebagai katalisator, sehingga tercipta pemerataan ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Kemandirian masyarakat merupakan bagian penting bagi pembangunan, Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa dengan kemandirian, masyarakat mampu memberikan kesejahteraan pada dirinya sendiri Yang berarti, bahwa masyarakat yang mandiri akan memberikan kontribusi pada peningkatan produktivitas sebuah negara. Salah satu intervensi tersebut adalah kegiatan pengembangan masyarakat atau dikenal juga dengan model pemberdayaan masyarakat. Model tersebut merupakan kegiatan yang menitikberatkan kepada pembangunan manusia itu sendiri. Artinya, pendekatan yang dilakukan menempatkan masyarakat sebagai pusat pengembangan. Oleh karena itu, kegiatan pengembangan masyarakat dengan model pemberdayaan dapat dikatakan sebagai sebuah konsep yang dapat memandirikan masyakarat Akan tetapi, model pemberdayaan tersebut akan bertemu dengan sisi paradoksnya ketika masyarakat berhasil menjadi mandiri secara ekonomi, tetapi acuh terhadap lingkungan alam di sekitarnya
Ketika pemberdayaan masyarakat yang didasarkan kepada pengelolaan sumber daya alam, maka harus memperhatikan keberlanjutan alamnya. Adapun jika pengelolaan sumber daya alam tersebut tidak memperhatikan keberlangsungan lingkungan atau menciptakan distorsi dan kerusakan lingkungan, dapat diasumsikan kemandirian masyarakat tersebut tidak akan berlangsung lama, karena sumber daya alam yang dikelolanya rusak Pengembangan masyarakat atau dikenal dengan pemberdayaan secara umum dapat dikatakan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pemberdayaan sendiri diadaptasikan dari istilah empowerment (memberikan kesempatam, daya kekuatan kepada pihak yang kurang berdaya) yang berkembang di Eropa mulai abad pertengahan. Definisi tersebut dapat diartikan bahwa pemberdayaan (empowerment) merupakan upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin, dengan perkataan lain, pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai segala bentuk aksi untuk memberikan perubahan kepada masyarakat dari tidak mampu menjadi mampu, sehingga mereka dapat menjadi mandiri. Kegiatan pemberdayaan sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang dalam Bahasa Inggris dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Pembangunan berkelanjutan merupakan agenda penting dari negaranegara anggota PBB, salah satunya  Indonesia. Dari tujuh belas tujuan tersebut terlihat bahwa tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan itu sendiri merupakan upaya untuk membangun manusia dan bertanggung jawab terhadap alam.
 Hal tersebut searah dengan tujuan dari pemberdayaan, akan tetapi fokus pemberdayaan cenderung kepada kesejahteraan manusianya, sedangkan alam dan lingkungannya belum menjadi bagian penting. Sedangkan, bagi masyarakat sipil (khususnya yang bukan masyarakat adat) hal itu seperti terlupakan atau dapat diasumsikan belum menjadi bagian penting dalam kehidupannya, berbeda dengan masyarakat adat yang masih memegang norma dan nilai-nilai dari kearifan lokal budayanya mereka cenderung memperlakukan alam sebagai bagian dari mereka.
Ada aturan tidak yang mengatur pengelolaan sumber daya alam yang ada, dengan tujuan kesinambungan dari pemanfaatan sumber daya alam tersebut.
pemulis : Silfiah
Sumber : Gian Nova Sudrajat Nur / TAMBORA/5 NO. 1/2021/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H