Mohon tunggu...
Silfia Aryani
Silfia Aryani Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru kecil yang ingin murid-muridnya menjadi orang besar | Wanita biasa yang ingin anak-anaknya menjadi orang yang luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Asuransi (dari) Allah

6 Juni 2014   03:25 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:07 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini saya akan bercerita tentang seorang kawan, yang darinya saya telah belajar banyak *meski belum semuanya saya terapkan di hidup saya.

Saya mengenalnya sejak SD, dia kawan main saya. Ayah kawan saya itu seorang perantau, yang hampir setiap waktu rumahnya menjadi jujugan saudara2nya yang bersekolah di jogja. Itulah yang membuat saya suka main ke rumahnya. Sepupu-sepupunya itu selalu menjadi tempat kami bertanya saat mengerjakan PR. Suasana anak kuliahan itu yang katanya membuatnya terbiasa punya jam belajar.

Saat kuliah, saya bertemu secara tidak sengaja bertemu dengannya. Waktu itu kami sama2 diundang untuk menandatangani kontrak beasiswa. Beberapa waktu kemudian, saya main ke pengajian di jurusannya. Saat itu secara tidak sengaja baru saya tau. Ternyata dia menyisihkan seperenam beasiswanya untuk takmir musholla fakultasnya; seorang bapak2 tua. Saya rasanya malu sekali padanya. Memang uang beasiswa saya habiskan tidak untuk berfoya-foya; semua untuk keperluan kuliah, tapi tak pernah kepikiran untuk menyisihkan sebagai zakat.

Di awal-awal bekerja, saya bertemu lagi dengannya di salah satu bank di Surakarta. Ternyata dia juga diterima bekerja di kota yang sama. Ketika saya tanya ada urusan apa, dijawabnya habis ngirim uang buat adiknya. Sekali lagi saya tertampar. Gajinya belum juga penuh diterimakan, tapi dia sudah membaginya dengan orang lain. Tidak berhenti di situ saja, ketika saya main ke rumahnya, saya bertemu dengan saudara-saudaranya yang tinggal di rumahnya; sedang bersekolah di Surakarta. Ternyata kebiasaan menampung orang sekolah seperti orang tuanya diteruskan oleh kawan saya setelah dia berumah tangga.

Beberapa minggu yang lalu, saya bertemu lagi dengannya di lobby stasiun balapan. Sedang mengantar keluarga sepupunya yang wisuda balik ke kotanya. Sembari menemani aku ngantri tiket ke jogja, aku sempat ngobrol dengannya. Kaget juga waktu tau dia tidak masuk auditorium saat wisuda sepupunya. Padahal dia yang membiayai kuliah sepupunya itu. Saat aku tanya, dia hanya tersenyum kecil. “Undangan e ming siji je, Sil. Nggo mak e wae (undangannya hanya satu tu Sil. Biar untuk ibunya saja)”. Aku juga bertanya tentang kabar sepupunya yang lain yang juga dia biayai. Ternyata dia sudah menikah. Agak protes kenapa aku gak diundang, dia jawab “Aku we yo ra iso teko kok. Wong isih ndek sekolah ndek Malaysia. Padahal ming kari seminggu aku mulih lo. Kok yo ra gelem ngenteni..(Aku saja juga tidak bisa datang kok, waktu itu masih kuliah di Malaysia. Padahal tinggal seminggu lagi aku pulang. Tapi anaknya tetap tidak mau menunggu)”

Aku sempat nyeletuk, lah kok begitu ‘balas jasa’ orang-orang yang pernah ditolongnya. Tapi dia jawab dengan pelajaran yang sangat berharga. Katanya (kira-kira begini) “Aku bertransaksi dengan Allah. Aku tidak mengharapkan balasan dari yang aku biayai. Tapi aku yakin Allah mencatat. Nanti suatu ketika saat aku membutuhkan, seperti asuransi aku bisa mengajukan klaim. Entah dari mana, Allah akan mencairkannya untukku. Tidak harus dari mereka (yang pernah aku biayai).”

Subhanallah *speechless...

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun