Pilihan sebagai wanita bekerja mungkin tidak terasa aneh puluhan tahun yang lalu, saat ibu saya memulai karirnya sebagai PNS. Masyarakat sedang memperjuangkan kesamaan hak antara pria dan wanita sehingga wanita didukung untuk menunjukkan eksistensinya. Ya, saya anak dari keluarga pekerja. Sejak saya bisa mengingat apa pekerjaan ibu saya, beliau menjadi sekretaris rector UGM yang jam kerjanya tidak tentu alias sering lembur. Bapak selalu pulang mengikuti waktu kerja ibu. Saya besar di bawah asuhan “traditional babysitter” yang saya panggil simbok. Dulu, hal seperti ini wajar dan sangat lumrah. Tapi tidak sekarang, saat saya sendiri yang sedang menjalani posisi ibu saya dulu.
"Teguran" menyapa saat saya bertemu ibu-ibu dari teman-teman anak saya yang dengan ikhlas menjadi fulltime mother untuk anak-anaknya. Ketika menjalin pertemanan di media social, sering terlintas nasehat-nasehat untuk ‘kembali ke rumah’. Terus terang, ini selalu membuat saya galau, kalau anak sekarang bilang.. karena saya merasa berat untuk meninggalkan pekerjaan yang sudah 10 tahunan ini saya jalani. Alasannya apa, sangat duniawi; uang.
Saat saya kelas 6 SD, saya kehilangan Pak Dhe saya. Beliau sudah seperti kakek saya, karena kakek saya sudah meninggal bahkan sebelum bapak dan ibu saya menikah. Sebagai anak kelas 6 SD saya waktu itu sudah berpikir, betapa berat hidup budhe (yang ibu rumah tangga) besok tanpa adanya pak dhe. Pak dhe meninggalkan 7 anak, dan baru 1 orang yang mentas. Tidak lama setelah itu, di kelas 1 SMP, saya kehilangan guru Fisika yang sangat baik. Beliau dekat dengan kami, murid-muridnya. Jadi ketika beliau meninggal, banyak di antara kami yang melayat. Di situlah kami tau, anak guru kami itu ada 3 dan yang terkecil masih batita. Saya langsung merasa, duh, ibu itu gimana kedepannya. Suami sudah meninggal dan beliau hanya ibu rumah tangga. Mau makan dari mana?
Banyak kejadian di sekeliling saya, yang membuat saya yakin,saya harus punya pekerjaan jika besar nanti. Dan inilah saya sekarang, guru kecil dengan perjalanan 2 jam dari rumah (total 4 jam pp). Dengan 4 anak, saya sering tersudutkan sebagai ‘part time mother’. Anak-anak lebih lama dengan ART daripada dengan saya. Apalagi dengan perjalanan ke tempat kerja yang cukup lama,membuat saya tidak bisa ‘jlang jling’ rumah – kantor – rumah.
Niat saya sebenarnya sederhana, saya hanya ingin keamanan (financial) untuk orang-orang tercinta; untuk suami dan terutama anak-anak. Wanita memang tidak harus bekerja, saya tau itu dan merasa terhormat diistimewakan seperti itu. Tapi bagaimana jika hidup tidak seindah dongeng; happily ever after. Bagaimana jika kita terpaksa harus bekerja juga, bagaimana jika kebutuhan itu hadir ketika kita sudah terlambat untuk melamar pekerjaan? Tidak seoptimis anak muda untuk merintis usaha? Terlalu tua untuk mengajukan pinjaman modal?
Saya percaya Allah tau niat saya tulus. Tidak untuk gagah-gagahan. Tidak untuk melarikan diri dari rutinitas rumah tangga yang jauh lebih berat dari pekerjaan di kantor. Sungguh saya berdoa semoga apa yang saya kerjakan ketika melewatkan kesempatan sebagai fulltime mother bisa membahagiakan orang-orang tercinta dan menyelamatkan saya di pengadilan-Nya kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H