Investigasi Mama
Hari ini terasa lama sekali. Tak ada alasan bagiku untuk menolak ajakan Mama membenahi taman bunganya, karena sudah tiga minggu berturut-turut di bulan yang sama aku selalu keluar dengan Wie. Pagi tadi sudah kujalani dengan perasaan malas. Dua jam setelahnya sungguh membosankan.
"Cahya, rumputnya tuh sudah acak-acakan!" bahasa Mama jika menyuruhku memotong rumput. Sebenarnya malas sekali. Mama sih enak. Sambil bernyanyi-nyanyi kecil, merangkai bunga-bunga cantik ke dalam vasnya. Mempercantik taman adalah hobi Mama.
Biasanya jam-jam segini Papa juga menjalankan hobinya – curhat sama burung piaraannya. Sedang Mas Keling, seperti biasa tebar pesona di dunia maya. Mereka sibuk dengan keasyikannya masing-masing. Yang paling semangat adalah Mama. Apalagi sore nanti akan diadakan arisan ibu-ibu. Wah, bisa seharian nih Mama merapikan taman bunganya. Biasa, taman bunganya akan dipamerin ke teman-teman arisannya, jadi harus diset secantik mungkin.
Dengan malas aku mengerjakan perintah Mama. Kupotong rumput itu dengan asal tanpa perasaan, karena anganku terus melayang memikirkan Wie.
'Duhh, lagi ngapain ya Wie sekarang? Jangan-jangan dia ke Tong Setan lagi? Sebenarnya sih aku lebih tenang kalau dia berada di bengkel. Jangan-jangan benar dia pergi ke Tong Setan? Kenapa dia nggak nelpon ya?'
Hape-ku berbunyi ketika aku sedang memasukan potongan rumput ke bak sampah. Wie?! Aku terlonjak senang.
Memang, kalau jodoh takkan kemana…
"Hai, Wie!" cepat kujawab panggilan hape-ku.
"Lagi ngapain, Cantik?" suara dari seberang menghadirkan debar halus di hatiku.
Aku tersipu meski Wie tidak berada di depanku. "Sedang memotong rumput."
"Kacian… boleh kubantu? Bantu do’a?”
Aku geli mendengar reaksinya. "Yee, enak saja bantu do’a,” gerutuku. “Ke sini dong, bantuin!”
“Memang boleh?”
“Boleh lah. Kalau kamu bantuin kan motong rumputnya jadi cepat selesai? Biar cepat rapihnya."
"… ohh."
"Kenapa, ohh?"
Wie tak segera menjawab. "Nggak jadi ah, takut item!"
“Ihh…” gurauan Wie membuatku gemas. Memang, dibanding kulitnya yang Cina sudah pasti kulitku lebih hitam.
"Nggak lah. Justru matahari pagi itu segar dan menyehatkan." Aku tak mau kalah.
“Iya juga sih…”
“Apalagi kalau rumputnya sudah rapi, tamannya pasti lebih indah.”
“Nggak juga. Tanpa dipotong pun tamanmu sudah terlihat cantik kok. Kan ada kamu?" Gombalnya kumat. “Pasti di pagi hari taman bungamu bersinar oleh senyummu, siang hari mekar oleh tawamu, malam hari bersinar oleh tatapan matamu. Kan ada kamu?”
“Gombal banget sih”
"Namanya juga usaha…” Wie terkekeh.
Aku cekikikan.
"Cahya…." Wie memotong gombalannya dan berkata serius.
"Hmm?"
"Kita ketemuan yuk! Kangen nih…."
Ada debar halus lagi di hatiku. Jujur, sebenarnya aku juga kangen. Tapi masak iya, baru sehari nggak ketemu sudah kangen? Norak banget ya kalau lagi kasmaran? Sudah tau Wie tukang ngegombal….
"Nggak bisa, Wie. Kan sudah kubilang, aku harus bantuin Mama sore ini, ada arisan. Tiap Minggu sudah keluar, nggak enak sama orang rumah? Kelayapan tiap hari…."
"Sebentar saja, ke alun-alun? Kangen nih…."
Bibirku manyun tanda tak percaya.
"Beneran!"
Si perayu ini…. "Mau ngapain sih?"
"Ada deh…."
Aku mencibir, "Main rahasia-rahasiaan segala. Mau ngapain dulu dong?"
"Pokoknya, ada deh…. Nanti malam, ya? Ya?!"
Wie terus mendesakku. Belum sempat kujawab. Aku baru menyadari bahwa Mama memperhatikanku sejak tadi. Salah tingkah juga jadinya. Aku merendahkan suaraku, setengah berbisik, "Sstt, Wie. Udahan dulu ya. Mama mulai curiga nih. Nanti kutelpon balik.” segera kumatikan hape-ku sebelum Wie ngoceh ngalor-ngidul lagi.
Mama menuju ke arahku. Mungkin reaksiku tadi berlebihan sehingga Mama justru curiga padaku. Aku buru-buru memotong rumput lagi, seolah tak terjadi apa-apa.
"Telepon dari siapa, Cahya?"
Tuh kan benar, Mama curiga. Aku tak berkutik. Kulempar senyum semanis mungkin, nada bicaraku kubuat senormal mungkin. "Dari Wie, Ma."
"Wie?" Mama menghela napas panjang. Lalu ikutan jongkok, tepat berada di depanku. Mama terlihat ragu sebelum bertanya dengan nada serius, "Cahya, kamu nggak pacaran kan dengan Wie?"
Deg! Jantungku rasanya mau copot.
Aku sungguh tak berdaya kalau Mama sudah begini. Tanpa kusadari alam bawah sadarku telah bertindak dengan benar. Spontan kepalaku menggeleng. Ini demi kebaikan semuanya.
“Syukurlah….” Kulihat Mama tersenyum lega.
"Memang kenapa, Ma?" Aku berusaha menutupi kegugupanku.
"Enggak…. Mama lihat kamu diantar-jemput terus sama dia. Trus, hubungan kalian juga sangat dekat akhir-akhir ini. Begini lho Cahya…." Mama merengkuh pundakku, kami duduk berdampingan layaknya dua orang sahabat yang saling bertukar pikiran. Jujur, justru sikap Mama membuatku ketakutan. "Mm, sebenarnya Mama dan Papa tuh nggak ngelarang kok kamu bergaul dengan siapa saja, asal… anaknya bener…."
"Maksud Mama?" Aku mengernyit.
"Soalnya, Mama perhatikan sepertinya Wie itu nggak pernah sholat ya?"
Deg! Jantungku berpacu lebih kencang.
"Dia Tionghoa kan?"
Aku terpaku, diam. Nggak menyangka bahwa Mama yang biasanya praktis akan bertanya sedetail ini.
"Trus, agamanya?"
Aku tak menjawab.
Mama tersenyum lembut sebelum aku sempat menjawabnya. "Tapi nggak apa-apa kok. Mama percaya kok sama kamu, Cahya. Anak Mama yang satu ini pasti lebih pintar memilih teman, iya kan? Lagipula Mama dengar sekarang banyak juga orang Tionghoa yang masuk Islam. Jadi nggak masalah kamu bergaul dengan Wie."
Mama meninggalkanku sebelum persediaan oksigen di otakku benar-benar habis. Dadaku terasa sesak dan sakit.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H