Pegunungan Himalaya,
Tengah malam waktu Indonesia
Cahya mendarat di alam mimpinya….
Di bawah seribu bintang yang cemerlang….
Tak tau tepatnya dimana dia sekarang. Apakah di Makalu, Lhotse, Broad Peak, Nanda Devi, Pumori atau justru sudah berada di puncak Everest? Yang jelas semuanya menjadi serba putih. Pegunungan ini disebut sebagai 'tempat kediaman salju', makanya diberi nama Himalaya.
Sensasinya sungguh luar biasa, terasa benar energi yang sangat kuat, yang takkan didapatkan di belahan bumi manapun. Karena dia kini berada di barisan puncak dunia.
Meskipun tubuhnya terasa beku, Cahya masih ingin bergerak bebas. Berdiri di depan tenda atau sekedar mendekat ke api unggun.
Dia lihat Laki-lakinya ada di sana.
Sambil memetik gitar dengan gaya yang sangat macho Laki-lakinya mulai bernyanyi :
Jangankan gunung Fujiyama,
Puncak Himalaya kuantar kamu….
Jangankan ke Kamboja,
Ke Ethopia kuantar kamu….
Kalau benar kamu cinta aku,
Ke Kutub Utara kuantar kamu….
Sambil mengerling genit ke arahnya. Sikon yang norak membuat Cahya geli.
Laki-lakinya sedang memenuhi janji membawanya ke puncak dunia. Ini konyol, tapi semuanya menjadi sangat indah. Lalu dia mendekatkan diri ke Laki-lakinya dengan penuh perasaan.
"Indah bukan?" tanya Laki-lakinya.
Cahya mengangguk manja sambil memeluk Laki-lakinya. "… sangat indah!" bisik Cahya.
"Kau dengar itu?"
Dipejamkan matanya. Suara angin membuat bulu kuduknya berdiri. Cahya mengangguk lagi.
"Angin memberitahu betapa alam mencintai kita."
"Aku juga mencintaimu!"
"Aku akan membawamu ke Fujiyama.”
“Juga Cina?” Negeri Cina adalah tanah leluhur Laki-lakinya.
Laki-lakinya berkulit putih, bermata sipit dengan rambut lemas dan berpostur jangkung, mengangguk mengiyakannya. Meskipun sering naik gunung tetap saja kulitnya putih karena dia keturunan Cina.
“Lalu kita ke Kamboja, Ethiopia, Kutub Utara….”
“Keliling dunia…,” Cahya membentangkan tangannya seperti burung yang terbang bebas. “Bagaimana kalau kita ke Borobudur saja!” ajaknya tiba-tiba.
“Borobudur?” Laki-lakinya bertanya aneh.
“Ya, Borobudur. Karena disanalah kita berjodoh. Kau ingat? Aku berhasil memegang tumit Kunto Bimo dan terkabulah permintaanku.”
Laki-lakinya tertawa terbahak-bahak. “Haa, kau percaya dengan mitos itu rupanya.”
"Aku meminta jodohku. Dan bertemulah aku denganmu.”
Ini konyol. Tapi Cahya tak perduli.
Mitos yang membahas tentang Kunto Bimo – sebuah arca dalam stupa Borobudur yang dapat mengabulkan setiap permintaan bagi siapa saja yang berhasil menyentuhnya. Bagi laki-laki akan terkabul keinginannya bila berhasil menyentuh bagian tangan, sedang wanita akan terkabul keinginannya bila berhasil menyentuh bagian kaki. Cahya berhasil menyentuh tumitnya.
“Kaulah yang kulihat pertama kali saat aku menyentuh tumitnya.”
“Jadi aku jodohmu?”
“Menurutmu?”
Laki-lakinya berpikir beberapa saat. Lalu tertawa senang. “Baiklah. Karena kau percaya, sebaiknya kita berjodoh saja.”
“Ahh,” Cahya merajuk.
Tak perduli apakah mitos itu benar ataupun tidak – mereka sudah tak memikirkannya. Dan karena mereka berjodoh, mereka menganggap sah-sah saja jika mereka berciuman. Di bawah siraman bintang, ciuman itu sangat dasyat. Ciuman yang tak pernah Cahya rasakan dari laki-laki manapun selain Laki-lakinya.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H