Dona sang Primadona
Prang…!
Belum sepuluh detik. Tiba-tiba aku tersentak oleh suara kaca pecah. Bukan, itu bukan suara motor Wie. Hatiku lega meskipun masih deg-degan. Kulihat motor Wie sudah berbelok arah, berarti bukan Wie.
Dengan langkah tergesa segera kususuri koridor untuk mengetahui apa yang terjadi. Ternyata memangterjadi keributan di kelas sebelah. Dua orang cowok yang kukenal adu jotos tepat di depanku. Teman-teman tak ada yang melerai, justru mereka saling menyoraki. Dua-duanya dari kelas sebelah. Ada apa ini?
Untung yang membentur kaca adalah siku Bonar, bukan kepala kribonya. Dengan garang Huri mengacungkan tinjunya, sambil menarik kerah baju Bonar.
"Cuk, jo macem-macem kon karo kera ngalam. Ajur kon…." Huri mengancam Bonar. Artinya begini, 'Jangan macam-macam sama orang Malang. Bisa babak belur, kau!'.
Bonar tak gentar sedikitpun. Perawakan Batak itu pun meludah, "Kera ngalam, kera ngalam apa kau bilang? Kau pikir aku takut sama kau? Monyet!"
Mereka berdua adu jotos lagi, saling gebuk, saling tarik, saling tendang, dan baru berhenti ketika Pak Sardi memisahkan keduanya dengan pentungan. Keduanya digiring ke kantor Kepala Sekolah.
Aku segera tau penyebabnya setelah kulihat Dona ketakutan di dalam kelas.
*****
Bapak Kepala Sekolah yang biasanya sabar dan murah senyum itu memasang wajah serius. Huri dan Bonar tak berkutik di depannya. Di samping Bapak Kepala Sekolah ada Pak Sardi dengan pentungannya, siaga satu mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi. Ruangan menjadi senyap.
"Coba ceritakan dari awal!" Bapak Kepala Sekolah memulai pembicaraan.
Sepi. Tak ada yang buka suara.
"Kamu, Huri!"
Huri mendengus. Setelah beberapa saat meredam amarahnya barulah dia buka suara. "Dia menggoda pacar saya, Pak," kata Huri sambil melihat kesal ke arah Bonar.
"Hah, apa kau bilang?!" Bonar tak terima. Setelah mengaduh sebentar atas luka di sikunya Bonar melanjutkan bicara. "Wah, tak benar itu Pak. Justru dia yang pegang-pegang pacar saya, Pak. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, Pak."
"Jok ngawur kon, jangan ngawur kamu!"
"Kemaren kau rayu pacar aku. Tadi, pagi-pagi sekali kau goda dia lagi. Sengaja kau rupanya bikin masalah sama aku."
"Dia itu pacarku!"
"Pacarku!"
"Pa-car-ku!!"
Bonar mencibir, "Sejak kapan Dona mau pacaran sama Monyet?"
"Cuk…!"
Brakk! Pentungan Pak Sardi menggebrak kaki meja. Bapak Kepala Sekolah ikutan kaget.
"Bicara yang sopan di depan Bapak Kepala Sekolah!" bentak Pak Sardi, terutama ditujukan buat Huri.
Huri dan Bonar terdiam. Bapak Kepala Sekolah mengangguk-angguk, mulai mengerti duduk permasalahannya.
"Oo, jadi masalah cewek?" Bapak Kepala Sekolah mengangguk-angguk lagi, "Saya bisa mengerti…. Dua hari yang lalu ada kejadian yang sama. Dan saya kira penyebabnya pun sama."
Huri dan Bonar saling pandang tak mengerti.
Lalu Bapak Kepala Sekolah bicara dengan Pak Sardi, "Pak Sardi?"
"Siap, Pak!"
"Tolong panggilkan Rachel Primadona ke sini!"
Huri dan Bonar kaget oleh sasaran Bapak Kepala Sekolah yang sangat tepat.
"Yang kalian maksud dengan Dona tadi Rachel Primadona kan? Cewek bule pindahan dari Jakarta itu kan?"
Tak ada yang menyangkal, berarti dugaan Bapak Kepala Sekolah benar. "Iya Pak Sardi, cepat panggilkan Dona ke sini!"
Pak Sardi menegapkan badannya, "Siap Pak!"
"Tapi Pak?" Langkah Pak Sardi terhenti oleh protes Huri. "Ini kan tidak ada sangkut-pautnya dengan Dona. Ini murni masalah laki-laki, Pak."
"Betul, Pak." Kali ini mereka kompak. Bonar setuju juga dengan pendapat Huri. "Menurut saya, Pak… sebaiknya memang Dona itu tak perlu lah di bawa ke sini. Ini masalah kami berdua, Pak.Biarlah kami selesaikan berdua, secara jantan."
"Betul, betul Pak. Jangan sangkut-pautkan masalah ini dengan Dona, Pak." Huri mulai memohon.
"Kenapa kalian yang bingung? Saya mau memanggil Rachel Primadona karena ingin tau apa yang terjadi sebenarnya." Bapak Kepala Sekolah tak mengindahkan protes Huri dan Bonar, menyuruh Pak Sardi bergegas melaksanakan perintahnya.
Pak Sardi pun segera keluar memanggil Dona.
Tak berapa lama Dona masuk ke ruangan kepala sekolah. Wajah indonya terlihat semakin putih.Dona duduk di kursi yang telah disediakan.
“Dona… Dona… dan Dona lagi…..” Bapak Kepala Sekolah terlihat gemas.
Dona tertunduk diam.
"Dona, kamu kenal kan sama mereka berdua?" Bapak Kepala Sekolah bertanya dengan nada yang bijaksana.
Huri dan Bonar dua-duanya tertunduk. Dona mengangguk tegang.
"Kamu tau kenapa mereka berdua berkelahi tadi, Dona?"
Dona masih terdiam.
Bapak Kepala Sekolah menghela napas panjang, lalu melanjutkan bicara, "Seperti yang sudah-sudah. Mereka bertengkar karena memperebutkan kamu, Dona. Lagi-lagi, siswa-siswa di sini bertengkar karena memperebutkan kamu. Ckckck, kamu sudah menjadi kurikulum favorit di sekolah ini rupanya! Mereka berdua itu mengaku, dua-duanya itu mengaku sebagai pacar kamu."
Dona tersedak kecil, mungkin dadanya menjadi sesak.
Huri dan Bonar terdiam, masih dengan wajah bermusuhan.
"Sekarang begini saja. Berhubung kalian bertiga sudah berkumpul di sini, Bapak tanya sama kamu, Dona. Lagi dan lagi. Di antara mereka berdua itu siapa yang sebenarnya menjadi pacar kamu?"
Dona menggigit bibirnya. 'Mampus deh, gue!' Dona memejamkan matanya seakan-akan ada benda yang mencekik lehernya.
"Huri, … atau Bonar?" Bapak Kepala Sekolah menegaskan pertanyaannya.
Dona terdiam.
*****
Yang kutau akhirnya masalah itu bisa diselesaikan dengan baik. Syukurlah. Karena Dona tak mengakui satupun dari mereka sebagai pacarnya - Bapak Kepala Sekolah beserta Pak Sardi adalah pemenangnya - tentu saja Huri dan Bonar melongo. Lagi dan lagi – seperti yang dikatakan Bapak Kepala Sekolah.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka berdua saat itu. Terutama Huri yang sering curhat padaku betapa cinta-matinya dia pada Dona. Dona adalah cinta pertamanya, tambatan hatinya yang kan selalu dipuja dan dimanja, weleh-weleh… ternyata hanya menganggapnya sebagai teman. Tentu saja hati Huri hancur berkeping-keping.
Dona bilang, dia memang sayang sama Huri - juga Bonar, tapi hanya sayang sebatas teman. Weleh-weleh…. mudahnya gadis bule bilang sayang. Untungnya Bapak Kepala Sekolah memberi nasehat yang sangat jitu.
“Huri, Bonar… ingat baik-baik nasehat Bapak ya?!"
Aku mengintip dari balik jendela kantor. Waktu itu Bapak Kepala Sekolah memasang wajah serius. "Jadi anak laki-laki itu tidak perlu modal besar sebenarnya. Cukup dengan ini, ya… dengan ini!" Bapak Kepala Sekolah menunjuk ke keningnya.
Huri dan Bonar sama-sama tertunduk, diam.
"Sebenarnya masalah cewek itu masalah kecil. Kalau kalian sedikit pintar tidak mungkin tertipu seperti sekarang ini, justru banyak gadis-gadis yang mengejar kalian. Tidak hanya Dona… bisa jadi seluruh gadis-gadis di sekolah ini akan mengidolakan kalian. Itu kalau kalian pintar. Jadi kalian harus pintar dulu. Dan untuk pintar diperlukan tekun belajar, supaya kalian berprestasi… dan ada sesuatu yang bisa kalian banggakan. Bapak yakin, jangankan gadis indo seperti Dona, gadis Meksiko atau Italia sekalipun bisa kalian dapatkan seperti Andrea Hirata yang bisa ke Prancis dengan beasiswa."
Gubraaak! Mana nyambung mereka diajak ngomong begitu? Tapi boleh juga motivasinya Bapak Kepala Sekolah…. masuk akal!
"Paham maksud saya, kalian?"
Syukurlah. Akhirnya mereka mengangguk dan saling berbaikan – mungkin merasa senasib karena merasa sama-sama dikecewakan Dona.
Dona… Dona sendiri sampai kapanpun akan tetap menjadi primadona karena dia adalah bintang, pusat perhatian bagi semua yang ada di dekatnya.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H