Mohon tunggu...
Estri shinta
Estri shinta Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis kambuhan, mari berbagi kata dan sapa

Salam hangat, sahabat Kompasiana! Selamat datang di beranda saya. Jangan ragu untuk berbagi komentar, kritik, ataupun saran. Harap maklum jika isinya campur-campur, persis pemiliknya yang random, 😍. Salam kenaaal, 🙏🙏

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Borobudur Masih Menunggu #7

26 Desember 2014   20:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:24 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1419235235469211528


Tentang Wie

Cinta kami bukan cinta yang biasa, aku sangat menyadari itu. Bahwa Wie seorang Tionghoa dan aku pribumi totok, aku juga menyadarinya. Dengan segala keterbatasan dan latar belakang yang berbeda, aku merasa kami bisa saling melengkapi. Bahwa aku mencintainya, itu tak perlu diragukan lagi.

Awalnya tak ada yang salah dan aku merasa enjoy menjalaninya. Tapi di tahun kedua hubungan kami, kami dihadapkan pada suatu masalah yang mau tak mau harus kami putuskan bersama. Rencananya setelah kelulusan nanti Wie akan meneruskan kuliah di Singapura, mengambil teknik otomotif supaya dia bisa memperbesar bengkel Papanya. Kami tak mau berpisah, makanya Wie mengajakku kawin.

Sementara, untuk menghadap ke orang-tuaku, aku yang melarangnya. Aku masih belum siap karena aku berkeyakinan akan fatal akibatnya. Untungnya orang tua Wie menyambut baik kehadiranku. Mereka tidak keberatan karena dulunya mereka juga menikah muda. Ketika Wie menyampaikan keinginannya mereka justru maklum, katanya mereka bangga punya anak yang berpendirian seperti Wie. Pembicaraan itu mengalir begitu saja.

Untuk tahap yang lebih serius, mengenai pernikahan kami nanti Wie bilang tak masalah mau menikah cara Islam atau cara Katolik. Tapi menurutku sih akan susah sekali. Ke gereja satu kali seminggu saja Wie sering bolong-bolong, apalagi disuruh sholat lima waktu? Dan jalan akhir jika orang tuaku masih tidak merestui hubungan kami, kata Wie, ada gereja kecil di pinggiran kota Malang yang bersedia menikahkan pasangan beda agama. Itu jika aku tak mau melepaskan agamaku. Tentu saja aku tak mau menjadi murtad. Jadi aku akan menikah di dalam gereja?

Sampai di sini aku bingung. Aku harus bertukar-pikiran dengan seseorang.

"Don…." Setelah bel istirahat berbunyi kutarik tangan Dona ke pojok kantin yang sepi. Lalu kuceritakan semuanya.

Mata indah Dona mengerjap tak percaya mendengar penuturanku. Mata yang sudah membius seluruh cowok di sekolah ini, karena dia adalah primadona. "Wow!" Reaksinya diluar dugaanku. “Selamat ya, Cahya.”

"Selamat apa?" Aku tak mengerti.

"Demi Bapa Pengembala yang baik," Dona memutar tangannya membentuk salib. "Kalau saja aku menemukan cowok se-gentle itu, Cahya…"

"Maksudmu?"

"Aku rela menggantikan posisimu."

"Ngaco!" Aku manyun.

Dan Dona tertawa. "Serius, Cahya…," katanya lagi. "Dia itu cowok baik. Jaman sekarang mana ada cowok seperti itu. Yang ada maunya cuman seneng-seneng, suka ngegombal…. Dia melamarmu, itu tandanya dia sangat serius sama kamu. Dia pastilah cowok yang sangat mencintai kamu. Swear! Kamu harus menerima lamarannya, Cahya."

"Apa ini tidak terlalu cepat?"

Jujur aku bilang, sebenarnya ini sangat berat bagiku. Aku ingin sekali melanjutkan kuliah. Mewujudkan cita-citaku menjadi seorang guru TK atau membangun sebuah playgroup yang berbasis agama. Seharusnya Wie bukan halangan. Aku bisa kuliah setelah menikah. Seharusnya aku tidak risau.

"Percayalah, Cahya…." Dona menggenggam tanganku dengan wajah serius. "Waktu akan membuktikan bahwa kamu tidak salah pilih. Dia pastilah cowok yang akan membahagiakan kamu."

Rupanya kejadian beberapa bulan yang lalu telah memberi pelajaran berharga bagi Dona. Kuperhatikan banyak perubahan pada sikapnya. Setelah Huri dan Bonar menjauhinya, juga beberapa teman cewek yang memusuhinya dan bahkan merendahkannya, Dona menjadi sedikit pendiam. Tapi itu bagus. Dona menjadi selektif memilih cowok. Katanya, dia kapok berurusan dengan cowok-cowok Malang dan berjanji tidak akan pacaran lagi sampai menemukan cowok pujaan hatinya. Dona sedikit arif sekarang, makanya aku mengajaknya bertukar pikiran.

"Trus Don, bagaimana aku ngomong dengan orang tuaku?"

"Bicara aja terus-terang!"

"Kalau mereka tidak setuju?"

"Yang penting kamu sudah minta ijin. Oya," Dona seperti teringat sesuatu. "Aku punya Om dan Tante yang menikah beda agama."

"Oya?" Aku menjadi bersemangat. "Trus, trus?"

Dona menggedikan bahunya. "Ya… nggak ada yang aneh dengan mereka. Memang sih, sebelum menikah mereka mendapat banyak sekali halangan. Termasuk, tidak mendapat restu dari salah satu orang tua mereka. Ya, seperti kamu. Tanteku yang beragama Islam itu ditentang habis-habisan oleh orang tuanya. Tapi karena terus nekat, toh akhirnya mereka menerima Omku yang Katolik itu. Apalagi setelah melihat cucu-cucu mereka yang lucu-lucu itu. Omku sampai sekarang masih Katolik dan Tanteku itu masih Islam. Habis gimana ya, masalah keyakinan sih, jadi nggak bisa dipaksakan."

Aku tergugu. Serumit itukah hubunganku dengan Wie nanti? Bagaimana kalau Papa atau Mama nanti bertanya, imam seperti apakah yang akan menuntun rumah tanggaku kelak? Siapkan aku menjadi istri dengan segala problematikanya di usia semuda ini? Pernikahan semacam apakah yang akan kubuat nanti?

"Jadi menurutmu sebaiknya aku menerima lamaran Wie? Meskipun tanpa restu dari kedua orang tuaku?" aku bertanya dengan ragu.

"Coba dulu. Siapa tau mereka merestui. Tapi kalau mereka tetap tidak merestui… ya iya dong," Dona meyakinkanku. "Kamu harus menerima lamaran, Wie. Cahya, cinta itu harus diperjuangkan. Kesempatan datangnya cuman satu kali. Kalau dia memang jodohmu, kamu nggak boleh melepaskan cowok sebaik Wie. Aku akan membantumu Cahya, aku janji!”

Nasehat Dona mengembalikan keyakinanku yang sempat hilang. Jadi begitu? Jadi aku harus memperjuangkan cintaku? Meski konsekwensinya harus menentang kedua orang tuaku? Tanpa sadar kepalaku mengangguk pelan.

*****



PT. Dua Intan Motors,

Pertengahan Februari di musim hujan

Sepulang sekolah seperti biasa Wie menghabiskan waktunya di bengkel. Hari ini tak banyak pelanggan yang datang. Lagi hujan, mungkin orang-orang malas keluar rumah. Tampak sebuah mobil, Mitsubishi Lancer MG 1.6 memasuki area parkir ketika Wie baru menyelesaikan makan siangnya. Jendela belakang mobil itu terbuka, menyembulkan seraut wajah cantik pemiliknya.

"Ping Wie!" sapanya.

Wie mengernyit dan mendekat ramah, "Hai?"

Setelah berbicara sebentar dengan sopirnya, gadis itu keluar dari mobilnya dan mendekati Wie. Seorang gadis tinggi semampai, berkulit putih dan berwajah indo. Berbolero rajut warna hijau tua menutupi bed baju seragamnya. "Hm, sibuk terus ya. Hebat. Di usia semuda ini sudah punya bisnis sebesar ini? Apa kabar?” Dona mengangsurkan tangannya.

"Baik," Wie menyambut uluran tangan Dona dengan canggung. Agak mengagetkan kedatangannya. “Yuk, masuk yuk, di sini panas.”

Dona celingak-celinguk memperhatikan bengkel yang lumayan besar ini. Mata bulatnya sibuk mengamati. Selain menjual oli, bensin dan berbagai sparepart, bengkel ini juga dilengkapi dengan sebuah steam cuci mobil besar yang diletakan di ujung kanan dan sebuah single post lift disebelahnya lagi. Dona duduk di ruang tunggu, sementara Wie duduk di sebelahnya sembari mengangsurkan minuman ringan.

“Mau service?”

“Oh, enggak. Saya ada perlu sama kamu. Bisa ganggu sebentar?” tanya Dona.

“Oh, boleh-boleh….” Wie mempersilahkan.

“Bengkelmu besar juga ya?” Dona tak segera mengutakan niatnya.

“Bengkel keluarga….”

“Oh….” Dona mengangguk-angguk.

“Bagaimana, kerasan di sini?” Kali ini Wie yang bertanya.

“Ya… begitulah.”

“Tak ada kota seindah Malang. Di sini banyak sekali tempat wisata yang bisa kau kunjungi. Tempatnya berjejer, bisa kau pilih sesuka hati.”

“Sayang tak ada seorang pun yang memperkenalkan kota ini padaku.” Dona menyahut dan tersenyum kecut. “Yang kenal aja pura-pura sibuk terus. Mana sempat ngajak aku jalan-jalan?”

Wie nyengir.

Dona tersenyum manis untuk kemudian bicara serius dengan Wie. “Wie, aku sengaja datang ke sini karena ada yang ingin aku bicarakan sama kamu. Ya… sebenarnya sih aku tau, aku nggak berhak ngomong ini sama kamu. Tapi gimana ya? Mm, … aku janji akan membantu sahabatku, Cahya.”

Wie mendadak diam.

“Kamu serius dengan dia?” tanya Dona kemudian.

Kali ini Wie mengernyit. “Maksudnya?”

“Kalian serius akan menikah?”

Wie melongo. Tentang rencana pernikahannya itu, karena menurutnya itu adalah masalah yang serius dan rahasia, jadi nggak sembarang orang boleh tau. Wie khawatir dia berbicara pada orang yang salah.

"Jangan khawatir. Aku bisa jaga rahasia kok. Cahya itu sahabatku, Wie. Jadi aku harus memastikan bahwa dia akan baik-baik saja nanti. Habis gimana ya?” Dona terlihat kehilangan akal. “Cahya sepertinya lagi stress berat. Ya… sebagai sahabatnya aku ingin membantunya. Kamu cowok yang baik dan cowok yang paling tepat buat Cahya. Aku tau aku nggak berhak ngomong gini sama kamu. Aku orang luar. Tapi kurasa aku punya solusi buat kalian.”

Wie tergugu, tak mengira ada pihak ketiga yang mengetahui masalah pribadinya sejauh ini. “Kupikir masalah ini cuman kami berdua yang tau,” gumamnya gerah.

Sorry….”

“Bahkan orang tuanya Cahya pun belum tau masalah ini."

"Aku nggak bermaksud mencampuri urusan kalian. Cahya sharing dan aku ingin membantunya. Percaya deh, aku nggak akan membocorkannya pada siapa-siapa.Gini lho, Wie….”

Dona melanjutkan. Wie gerah karena merasa asing dengan gadis ini.

“Cahya tuh sekarang lagi bingung-bingungnya. Aku sudah meyakinkannya. Aku punya kok keluarga yang punya permasalahan seperti kalian, Om dan Tanteku. Mereka menikah beda agama. Kalau kalian kukenalkan dengan mereka, pasti kalian akan diberi jalan supaya lebih mudah melalui ini semua. Kenalan Om-ku banyak untuk permasalahan seperti ini. Pokoknya kalian jangan khawatir deh."

"Oya?" Wie tak tau harus berkata apa.

"Aku yakin, setelah menikah lambat-laun orang-tuanya Cahya pasti akan merestui hubungan kalian. Om dan Tanteku juga begitu, akhirnya mereka direstui. Dan menurutku langkahmu ini sudah benar, Wie."

Wie terdiam.

"Wie, kamu adalah cowok gentle, cowok hebat! Aku kagum atas keberanianmu. Aku yakin siapapun akan bahagia hidup dengan kamu, itu yang sering kukatakan pada Cahya."

Dona beranjak setelah memberikan kartu namanya pada Wie. Kartu nama dengan desain apik, warna pink bergambar dirinya. Sopirnya membunyikan klakson. Sebelum masuk ke mobilnya Dona berkata lagi, "Aku serius akan membantumu!" teriaknya dari dalam mobil.

Mobil berwarna silver itu meluncur keluar bengkel. Dan gadis itu menghilang. Wie tergugu. Gadis aneh, pikir Wie. Muncul di siang bolong, di tempat yang tak semestinya lalu mengajaknya bicara tentang sesuatu yang sangat rahasia. Entah apa maksudnya. Wie justru tak tau bahwa Cahya punya sahabat sereponsif Dona.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun