Mohon tunggu...
M. Fathur Rozi
M. Fathur Rozi Mohon Tunggu... -

Selain aktif di SPORTS EVENT, saya ingin Berbagi Inspirasi & Solusi kepada sesama melalui WWW.SILATURAHIM.CO.ID untuk masa depan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buku yang Tak Kasat Mata

12 November 2016   16:32 Diperbarui: 12 November 2016   16:55 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: furqonetizen.indonesiaz.com

Cita-cita adalah sarana untuk mencapai tujuan. Begitulah seharusnya pemahaman kita. Tidak menjadikan cita-cita sebagai tujuan, tapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Yang terpenting adalah apa yang menjadi tujuan akhir kita. Dengan begitu, jika cita-cita belum tercapai, kita akan tetap bekerja dan melakukan kebaikan sesuai dengan keahlian kita.

Jika kita ingin menjadi PNS misalnya tapi tidak terima, maka jadi tenaga kontrak atau honorer pun tak masalah. Yang penting tujuan untuk memberikan pelayanan yang baik tetap tercapai. Jika kita bercita-cita menjadi dokter, insinyur atau ilmuwan tapi tak tercapai, kita tetap bisa berbuat kebaikan di lingkungan kita. Lebih tinggi lagi, jika kita bercita-cita menjadi menteri atau presiden sekali pun tapi tak tercapai, ini pun tak boleh membuat kita putus asa. Kita tetap bisa mengabdi pada masyarakat dan bangsa di bidang kita masing-masing.

Di jaman Jepang kuno, ada seorang biksu yang tertarik menerjemahkan buku Tao Te Ching dan menerbitkannya. Sambil menerjemahkan, dia menabung untuk menerbitkannya nanti. Sekitar 10 tahun kemudian, dia berhasil mengumpulkan dana untuk bisa menerbitkan buku itu. Namun, ketika dia sudah siap mencetak, tiba-tiba terjadi bencana besar. Penyakit sampar merambah kemana-mana. Dia pun ragu untuk meneruskan niatnya menerbitkan buku terjemahan itu.

Sang biksu mengambil keputusan untuk tidak meneruskan niat tersebut. Dana yang terkumpul dialihkan untuk membantu orang-rang yang terkena penyakit. Dalam waktu singkat, uangnya pun habis. Lalu keadaan berangsur-angsur normal. Dia kembali mengumpulkan uang untuk menerbitkan terjemahannya. Tampaknya mimpinya masih tetap terjaga. Sepuluh tahun berlalu dan kini dia memiliki dana cukup untuk mulai menerbitkan buku yang tertunda. Tapi lagi-lagi terjadi bencana besar. Gempa bumi melanda desa itu dan menimbulkan kerusakan dimana-mana.

Banyak orang kehilangan rumah dan pekerjaan. Sang biksu tak tega melihat kenyataan itu. Sekali lagi, dengan berbesar hati dia merelakan dana yang sudah terkumpul 10 tahun untuk segala keperluan pembangunan rumah masyarakat. Setelah keadaan berangsur pulih, dia mulai menabung dari nol lagi. Dengan kegigihan yang luar biasa, akhirnya sepuluh tahun kemudian dia berhasil menerbitkan buku terjemahan Tao Te Ching. Seluruh rakyat Jepang kini bisa membacanya.

Menurut orang bijak, sang biksu sebenarnya telah menerbitkan tiga buku. Dua buku yang tak kasatmata dan satu buku yang tercetak. Dia meyakini impiannya dan terus berjuang untuk mewujudkannya. Namun dia tidak mengabaikan berbuat kebaikan pada sesama. Bahkan ini yang lebih diutamakan daripada mengejar impiannya. Kadangkala, buku yang tak kasatmata yang muncul dari kemurahan hati sama pentingnya dengan buku-buku dalam perpustakaan kita.

Baca juga, Sediakan Waktu Buat Keluarga, Taka Ada Sukses Yang Gratis.

Referensi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun