Mohon tunggu...
Siladhamo Mulyono
Siladhamo Mulyono Mohon Tunggu... -

Kita tidak dapat menggenggam masa lalu, atapun memastikan yang akan datang. Jadi..hiduplah pada hari ini, saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tangan-tangan Tuhan Tengah Bekerja

12 Februari 2014   17:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:53 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman yang tercecer....

[caption id="attachment_322278" align="aligncenter" width="678" caption="Biarawati Maricen Kuayo (tengah) sangat antusias pada kegiatan Tzu Chi. Ia juga sering mengikuti kegiatan yang Tzu Chi lakukan."][/caption]


Tulisan ini adalah pengalaman saya saat mengikuti kegiatan Bakti Sosial Kesehatan Katarak Tzu Chi di Jayapura, Papua tahun 2013. Bersama dokter, perawat, dan relawan lainnya, kami bersama tiga rekan kerja berangkat dari Bandar Udara Sukarno Hatta Jakarta sekitar pukul 21.45 WIB malam. Pesawat yang kami tumpangi sempat transit di Makassar. Sementara alat-alat penujang kegiatan Baksos sudah dikirim melalui laut dan udara dari Jakarta beberapa hari sebelumnya. Pagi menjelang saat pesawat mendekati bandara, terlihat matahari pagi itu bersinar cerah dengan warna kuning keemasan dari balik jendela pesawat seolah menyambut kedatangan kami. Kabut tipis menyelimuti hamparan hutan nan hijau luas terbentang terlihat dibawahnya. Tampak pula Danau Sentani yang indah dengan bukit bukit berwarna hijau seperti hamparan permadani. Setelah menempuh perjalanan udara hampir 6 jam lebih, pesawat mendarat di Bandara Udara Sentani, Jayapura dan kami keluar sekitar pukul 6.15 WITA.

Ini adalah perjalanan terjauh saya selama mengunjungi berbagai kota di Indonesia. 3.764 km adalah jarak dari Jakarta-Jayapura. Pertama menginjakkan kaki di tanah Papua yang terlihat adala budaya mengunyah buah pinang. Baik itu kaum muda dan tua banyak terlihat sedang mengunyah pinang. Sepertinya nikmat sekali pagi pagi sudah mengunyahnya. Bahkan di bandara undara Sentani sendiri terlihat disediakan tempat khusus untuk meludah dan membuang sehabis orang mengunyahnya. Makan buah pinang seperti sudah menjadi kebutuhan pokok bagi kebanyakan dari mereka. Penulis pernah bertanya kepada seorang pemuda yang berprofesi sebagai tukang ojeg motor mengatakan, dalam sehari sedikitnya bisa menghabiskan 50 buah pinang dengan harga Rp.1.000 per buah waktu itu.

Rumah Sakit Bhayangkara Polri Jayapura adalah tujuan utama pagi itu. Acara seremoni kegiatan baksos baru saja selesai. Pagi itu didepan sebuah pintu rumah sakit tempat dilaksanakannya pengobatan katarak, sudah banyak orang mengantri untuk screaning. Terlihat tiga orang ibu sedang duduk-duduk di lantai sambil mengunyah pinang menunggu untuk di screaning. Salah seorang ibu bernama Naomi Yaladewa (69 tahun) yang memiliki 4 anak dan telah dikaruniai 15 cucu ini datang dari kota Sentani. Ia datang ditemani anak lelakinya. Sejak pagi ia sudah datang berharap dapat ikut dalam pengobatan kali ini. Mata kirinya sudah tidak jelas untuk melihat. Untuk sampai rumah sakit Naomi harus empat kali berganti mengunakan alat transportasi. Para relawan terlihat dengan telaten melayani mereka satu persatu.

[caption id="attachment_322279" align="aligncenter" width="664" caption="Dengan prinsip tanpa membedakan suku, Ras, dan agama kehidupan akan berjalan lebih damai."]

13922546201767937165
13922546201767937165
[/caption]

Atas kebaikan donatur dan simpatisan, pemilik usaha juga mengirimkan beberapa karyawannya untuk membantu kegiatan baksos katarak ini. Ada juga dari intansi perbankan ikut melibatkan karyawannya. Tak terkecuali juga dari pihak Gereja terlihat disana. Dari Panti Asuhan Putri Kerahiman Hawai yang berbasis agama Katholik yang berlokasi di Sentani terlihat hadir disana. Sejak baksos dibuka di pagi hari, empat orang biarawati dari Panti Asuhan Putri Kerahiman Hawai sudah siap sedia melayani banyak pasien. Ada yang bertugas di bagian pendaftaran dan ada pula di bagian pemeriksaan. Menurut Sr Maricen Kuayo sejak pertama kali bertemu dengan relawan Tzu Chi, ia sudah percaya bahwa yang diberikan oleh relawan adalah tulus. Ia juga percaya kalau yang dilakukan oleh relawan Tzu Chi semua adalah demi kemanusiaan dan bukan penyebaran keyakinan. “Saya percaya dengan yang dilakukan oleh relawan Tzu Chi. Semua yang dilakukannya hanya untuk kemanusiaan,” katanya dengan ramah.

Kira-kira 3 tahun yang lalu panti asuhan ini mengalami kendala yang disebabkan oleh lingkungan. Setiap kali hujan datang seluruh jalan dan perkarangan panti asuhan ini terendam air hingga membuat kegiatan terhenti. Tapi dalam sebuah jodoh yang baik seorang relawan Tzu Chi bertemu dengan pimpinan panti asuhan itu dan bersedia memberikan bantuan materil untuk membangun  jalan di pekarangan panti. Berawal dari bantuan itulah hubungan baik antar relawan Tzu Chi dengan para biarawati terbangun. Relawan Tzu Chi mulai rutin memberikan bantuan logistik maupun dana operasional.

Ada juga relawan Tzu Chi yang datang dari Biak untukmembantu relawan di Jayapura yang masih sedikit ada relawan disana. Atas kemurahan hati pasangan suami isteri relawan disana (tanpa perlu saya sebut namanya), menanggung akomidasi dan lainnya. Dari Biak mereka menggunakan kapal laut.

[caption id="attachment_322280" align="aligncenter" width="613" caption="Usia bukanlah satu-satunya penyebab mengapa lensa mata mengalami perubahan. Beberapa orang lahir dengan katarak bawaan atau mengalaminya saat masa kanak-kanak."]

1392254801699851791
1392254801699851791
[/caption]

Pasien yang lain ada yang harus pergi jam satu malam berangkat dari rumah karena tempatnya yang jauh di gunung. Setelah membuat janji dengan pemilik kendaraan umum, keluarga ini menunggu di tempat yang telah disepakati untuk pergi ke tempat baksos.Lince Bano (72 tahun) datang ditemani 3 anaknya dan adik perempuanya yang juga sudah tua. Berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya, ia menempuh perjalanan yang jauh berharap mendapat kesembuhan. Relawan Tzu Chi di Jayapura menyosialisasikan kegiatan ini sebulan sebelum acara dilaksanakan melalui Gereja, Radio, Televisi, Puskesmas setempat, koran lokal, dan spanduk pengumuman di tempat-tempat yang mudah terlihat.

Tidak semua orang percaya adanya bakti sosial pengobatan katarak gratis yang diselenggarakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi, di Jayapura. Stigma seperti ini seperti wajar adanya karena dalam kurun waktu yang lama masyarakat jarang sekali mengalami hal ini. Kalaupun ada sifatnya terbatas untuk kalangan sendiri dan hanya menanganani penyakit-penyakit ringan, misalnya hanya di komunitas gereja mereka sendiri.

Seperti yang dialami Noah (34) yang pagi itu (23/03/2013) mengantarkan ibu mertuanya mengikuti baksos pengobatan karena sudah dua tahun menderita katarak mata kanannya. Sambil menunggui ibu mertuanya selesai menjalani operasi,ia bercerita kepada saya bahwa sehari sebelum mengantarkan mertuanya, ia bertengkar hebat dengan adik iparnya. Adik iparnya bahkan mengacam kalau terjadi sesuatu atas ibunya, kakak iparnya itu harus bertanggungjawab. Menurutnya kalau pengobatan gratis ini bohong dan tidak mungkin. Pemikiran ini didasari untuk pengobatan katarak saja harus menyediakan uang Rp.7.000.000 sampai Rp.8.000.000 belum termasuk biaya penginapan di rumah sakit. Bagaimana mungkin pengobatan ini dilakukan untuk banyak orang? Penyebab lainnya adik iparnya bersikeras ibunya diobati di rumah sakit atas biaya sendiri saja dengan uang yang sudah dipersiapkan. Karena rasa sayangnya terhadap ibu mertuanya dan sudah menanggap ibu mertuanya seperti ibunya sendiri, Noah menerima ancaman itu. Bahkan sampai pagi hari masih bersitegang, sehingga adik iparnya hanya mengantar ibunya sampai pintu gerbang rumah sakit lalu pergi lagi tidak mau menunggui ibunya.

Ibu Mertuanya mendaftar baksos katarak setelah mendengar pengumuman berita di radio. Ia datang bersama tetangganya, lanjutnya bercerita. Ketika ditanya kenaapa ibu mertuanya mau ikut baksos ini padahal dia tidak tahu apa itu Yayasan Buddha Tzu Chi? Menurut Noah ibunya hanya percaya dan yakin bahwa pengobatan ini adalah sungguh-sungguh. Hanya bermodalkan keyakinan itulah ibunya memutuskan ikut baksos ini. Perasaan gelisah dan was was terlihat di wajah Noah saat menunggu ibu mertuanya karena ia melihat pasien yang datang belakangan sudah selesai menjalani operasi, sedangkan ibu mertuanya belum juga keluar dari ruang operasi. Sebentar ia berdiri dari tempat duduknya, sebentar berjalan dan kembali duduk masih dengan perasaan tegang. Akhirnya sekitar pukul 06.30 petang terlihat ibunya keluar dari ruang operasi sambil dipapah oleh relawan Tzu Chi. Noah yang sudah tidak sabar menunggu segera berlari menghampiri mertuanya dan memeluknya.

Perasaan lega dan gembira jelas terpancar dari raut mukanya ketika ibu mertuanya tersenyum menyambutnya. Seolah ingin membuktikan kepada adik iparnya bahwa pengobatan ini bukan kebohongan semata, ia segera menelponnya bahwa ibunya telah selesai menjalani operasi. Noah juga meminta untuk segera mencarikan sewa kendaraan umum untuk membawa pulang ibunya. Petang itu seolah menjadi hari yang paling membahagiakan dalam hidup keluarga mereka ketika adik iparnya datang dan menjemput ibunya. Pertentangan yang sempat terjadi seolah sirna tatkala menyaksikan sendiri ibunya dalam keadaan baik-baik saja. Tak lupa sebelum meninggalkan rumah sakit seluruh keluarga ini mengucapkan rasa terima kasih kepada insan Tzu Chi.

[caption id="attachment_322725" align="aligncenter" width="590" caption="Noah (kiri) saat menjemput mertuanya setelah selesai menjalani operasi."]

13924405921921803331
13924405921921803331
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun