Mohon tunggu...
Kepikmerah
Kepikmerah Mohon Tunggu... Lainnya - Normal citizen

I never born to please anyone

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kami yang Ditinggal Pergi

30 Agustus 2024   00:47 Diperbarui: 30 Agustus 2024   01:08 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kabar duka selalu menyisakan rasa hampa. Kepergian yang bisa diprediksi, terlebih yang secara tiba-tiba, tentu meninggalkan duka yang mendalam. Kadang sampai bingung emosi apa yang muncul. Apakah ini sedih? Menyesal? Atau lega karena orang yang kita sayang tidak lagi sakit? Tapi bagaimana dengan anak/istri/suami/bahkan orang tua yang ditinggalkan?

Saya jadi ingat teman saya pernah bilang, ditinggal orang tua tidak sesedih ditinggal pasangan karena sejak kita lahir sudah sering melihat orang tua. Sementara pasangan, orang yang kita temui setiap hari, berbagi suka/duka dalam rumah tangga, serta waktu yang relatif lebih singkat dari orang tua kita membuat perasaan ditinggal lebih menyakitkan. Tapiiii, semua itu tidak sebanding dengan ditinggalkan anak sendiri. Konon sedih paling dalam adalah ditinggal oleh anak sendiri. Saya melihat semuanya sekaligus dalam 2 hari terakhir ini.

Kemarin, sepupu saya mendadak pergi untuk selamanya. Meninggalkan 2 anak yang masih balita, istri, dan seorang ibu. Di waktu dia meninggal, tangis paling histeris muncul dari istrinya. Rasanya kepergiannya yang terlalu mendadak tanpa ada gejala sebelumnya membuat sang istri tidak siap menerima kenyataan. Sementara anaknya yang masih kecil belum sepenuhnya sadar apa yang terjadi pada ayahnya. Lambat laun, tangis sang istri mulai mereda, meski rasa duka masih terlihat jelas di wajahnya. Perlahan-lahan sang istri mulai mengumpulkan tenaga mengurus suaminya untuk yang terakhir kali. Dia memandikan, memakaikan pakaian terakhir, meski masih diiringi tangisan kecil. Kukira semua masa duka sudah lewat. Sampai akhirnya hari ini, sang ibu datang menjenguk anaknya. Sang ibu yang jauh-jauh datang dari Bali, melihat anaknya terbaring kaku,  seketika tangisnya pecah. Raungan memenuhi ruang duka. Pemandangan yang tidak akan pernah bisa dilupakan, betapa sakitnya seorang ibu melihat anaknya pergi lebih dulu.

Mulai dari paman-paman, bibi, sepupu, rasanya ditinggalkan itu berat. Bohong rasanya kalau kita berbahagia. Rasa kehilangan itu, bagi beberapa orang masih menghantui. Bahkan bibiku kadang terjaga di tengah malam, memikirkan paman yang meninggal di awal tahun ini. Meski kepergiannya memang sudah waktunya dan dalam kondisi sudah lanjut usia, namun sedih itu tetap ada.

Dulu, aku pikir berpindah alam itu hal sederhana. Tapi nyatanya kita semua hanya manusia biasa yang sering hanyut dalam emosi. Ya, kami sedih dan kehilangan, tapi kami juga selalu berusaha mengikhlaskan dan berdoa yang terbaik untuk para Atman yang kembali pada Sang Pencipta.

Credit to my beloved Uncle Wayan, Uncle Komang Surya, and our beloved brother Komang Sidhi. You're all loved. May your soul and heart find peace, wherever you are

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun