Mohon tunggu...
Ketut Resiki
Ketut Resiki Mohon Tunggu... Lainnya - Normal citizen

ENTP

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Amarah Berbicara

20 Juni 2024   17:21 Diperbarui: 8 Juli 2024   16:11 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Siapa yang tidak pernah marah disini? Tentu semua orang pernah marah. Mungkin sebagian dari kita atau orang terdekat kita terbilang sering marah sampai-sampai dicap sebagai pemarah. Kalian tidak sendiri, ya paling tidak ada saya yang juga dicap pemarah hehe. Saya termasuk orang yang sering marah-marah, bahkan orang sekitar saya sudah hapal dengan kebiasaan saya itu. Tapi semakin saya dewasa, saya berpikir 'Kenapa ya saya marah?'. Bagi kalian yang heran kenapa orang bisa marah-marah atau berpikir 'kenapa dia hobi banget marah-marah?', sejujurnya saya pun tidak suka marah-marah. Marah itu capek. Biasanya setelah marah saya akan merasa sedikit lega, tapi kemudian dihantui dengan penyesalan. Belum lagi bila marah itu tidak berujung pada resolusi. Percayalah, rasanya sangat menyebalkan. Untuk para ibu, pasti kalian tahu rasa menyesalnya setelah marah dengan anak, ah pokoknya hati ini pilu rasanya. Saya sampai sempat mencoba berbagai pendekatan supaya saya tidak marah-marah lagi, tapi akhirnya saya sadar bahwa sebenarnya marah itu berbicara. Hah? Apa aku mulai gila?

Ya, sebenarnya kemarahan itu adalah bentuk tubuh kita berkomunikasi, menyampaikan pesan yang tidak tersampaikan dengan baik dalam wujud yang penuh frustasi dan muncul sebagai ledakan amarah. Ya, kurang lebih itu yang saya ilhami. Oke, sebelum lebih lanjut lagi, saya ingin ambil 2 contoh agar lebih jelas.

Kasus 1 : Bayangkan suatu pagi kalian datang ke kantor. Kalian bertemu dengan teman kerja kalian yang sedang sibuk mengetik depan layar. Tiba-tiba bos kalian datang memberinya pekerjaan. Tak lama setelah bos kalian pergi, teman kalian mulai menggerutu soal ini dan itu, bahkan dia berujung menggerutu sepanjang hari. Mungkin sebagian dari kalian berpikir, 'Ya kerjakan lah pekerjaannya, jangan banyak mengeluh!' Atau mungkin 'Ah orang ini hanya bisa menggerutu, mau gaji buta ya?'. Padahal mungkin yang ada dipikirannya malah seperti ini:

  • Anak saya sakit dan saya terjaga semalaman. Saya ingin pulang cepat malah dapat pekerjaan tambahan.
  • Saya kewalahan dengan pekerjaan saya. Saya butuh pertolongan.
  • Saya punya banyak pikiran dan sulit konsentrasi bekerja.

Kasus 2 : Bayangkan kalian punya istri dan punya anak. Kalian pulang ke rumah dan istri kalian tidak berhenti mengomeli anak dan kalian. Dia mengeluh hanya karena kaus kaki dan tas kalian tergeletak sembarangan. Anak kalian juga tidak luput dari bentakan dan omelan. Tidak ada sapaan manis atau sambutan hangat, sepanjang malam dihabiskan dengan suasana yang menyebalkan. Bahkan kalian mungkin berpikir pulang lebih malam esok harinya. Kalian mungkin berpikir 'Apasih ini istri, saya yang capek kerja dia yang ngedumel terus.' atau mungkin muncul niatan kalian untuk mencari pasangan baru. Tapi tunggu dulu, sebelum kalian mencari pasangan baru, ada baiknya cari tahu dulu kenapa. Mungkin yang ada di pikiran istri adalah:

  • Duh anak rewel seharian, aku capek banget
  • Harga sembako pada naik, aku bingung apa lagi yang harus dihemat
  • Udah seminggu suami sibuk di kantor, aku gak ada temen ngobrol

Dari 2 kasus di atas, yang ingin saya sampaikan adalah amarah atau omelan itu muncul dengan alasan, baik karena adanya kebutuhan atau ekspektasi yang tidak terpenuhi. Kebutuhan atau ekspektasi itu bisa disadari atau tidak disadari oleh si pelaku. Contoh kebutuhan yang tidak terpenuhi misalkan:

  • kebutuhan istirahat, tubuh sudah terlalu lelah untuk beraktivitas
  • lapar
  • haus
  • ingin buang air
  • dan lainnya

Sementara ekspektasi yang 'meleset' juga sering menjadi pemicu kemarahan. Kadang otak manusia sudah terlalu canggih dan terlalu cepat memproses, disaat otot mulut dan lidah masih butuh waktu untuk menyampaikannya keinginan kita. Salah satu contoh untuk kasus 1, misalkan teman kantor sudah kewalahan dengan pekerjaannya, mungkin dia bisa menyampaikan perasaan kewalahannya ke teman atau ke bos dan membagi sedikit pekerjaannya ke rekan kerjanya yang lain. Atau untuk kasus 2, misalkan si istri sudah merasa kelelahan menghadapi anak yang rewel seharian, istri bisa menyampaikan apa saja yang dilaluinya seharian ini dan meminta bantuan pada suami untuk mencuci piring atau bermain dengan anak sebelum tidur. Ketika kita sudah sangat kewalahan dengan kebutuhan kita atau ekspektasi kita, kita lupa atau sudah terlalu lelah untuk mengkomunikasikan keinginan kita. Tapi tanpa adanya komunikasi dan mencoba untuk vurnerable (apa adanya), maka semakin sulit menghilangkan urgensi untuk marah.

Lalu, kenapa tidak ditahan saja? Mungkin kita sering melihat orang-orang yang seperti tidak pernah marah, bahkan tidak pernah marah - sejujurnya saya tidak tahu apa rahasianya orang-orang ini tidak pernah marah (ya mengingat saya orang yang sebaliknya). Tapi yang saya tahu, sebaiknya kemarahan itu tidak ditahan. Kenapa? Menurut seorang psikolog, kemarahan yang semakin ditahan justru seperti bom waktu, akan meledak sewaktu-waktu dengan intensitas yang sangat besar. Kemarahan itu ibaratkan gas di dalam balon, sebelum balon tersebut meledak sebaiknya dikeluarkan secara berkala, sedikit demi sedikit. Apa itu masuk akal? Tentu saja! Coba kalian bayangkan misalnya dalam sehari ada 5 'kesialan' yang terjadi:

  • Anda ketinggalan kereta
  • Menu makan siang favorit anda sudah habis terjual
  • Ada kerjaan mendadak yang harus selesai hari ini
  • Kopi panas yang kalian minum sudah terlanjur dingin
  • Pulang kantor kehujanan dan tidak bawa payung

Anda bersusah payah seharian ini menahan rasa kesal dan terus menjalani hari. 1 kali lagi 'kesialan' yang terjadi maka kalian akan merasakan gejolak amarah yang sangat besar dan mungkin tidak bisa lagi kalian bendung. Bersyukur bila kalian bukan tipe pengomel atau pemarah, kalau kalian termasuk yang dicap pemarah akan jadi seperti apa kemarahannya? Oke, sekarang 'kesialan' tersebut kita ganti dengan masalah-masalah yang kita tahan terus menerus, tentunya tanpa ada resolusi. Rasa frustasi yang berakumulasi tentu akan mendorong kita hingga puncaknya dan bisa membuat kita 'meledak' kapan saja. Terdengar lebih masuk akal sekarang? Itulah pentingnya kita menyicil menyelesaikan masalah kita satu demi satu agar 'balon kemarahan' kita tidak penuh dan meledak. 

Saya pernah bertanya dengan psikolog, 'Apa bisa saya tidak marah-marah lagi'? Sayangnya tidak bisa. Sayapun merengut sedih membayangkan harus jadi orang pemarah sepanjang hidup. Tapi dia melanjutkan, 'Tidak bisa kalau akar kemarahannya masih ada'. Kadang marah kita saat ini bisa berasal dari kejadian baru-baru ini hingga kejadian dari bertahun-tahun lalu. Penting bagi kita menelusuri akar kemarahan kita muncul dari mana. Bagi kalian yang cenderung sering marah-marah atau merasakan kemarahan yang intens, bisa jadi akar kemarahan kalian lebih dari sekedar kejadian sehari-hari saja. Maksdunya bisa jadi kemarahan kalian bersumber dari ketidakpuasan kalian terhadap kondisi hidup saat ini atau muncul dari rasa frustasi yang belum terselesaikan atau alasan longterm lainnya. Untuk alasan ini tidak bisa 'asal tunjuk', butuh waktu untuk merenung dan instrospeksi diri agar menemukan akar yang tepat dari kemarahan ini. 

Ketimbang menyesali kemarahan kita, tidakkah lebih baik kalau kita mencari tahu penyebab kemarahannya dan berusaha mengkomunikasikan kebutuhan kita?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun