Menjalani status sebagai mahasiswa yang tergolong veteran memang tidak mengenakkan. Tuntutan untuk segera lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) diatas 3,00 menjadi perkataan yang sering didengar. Belum lagi melihat banyak kawan-kawan yang sudah atau sedang mengerjakan skripsi. Dan kita, mahasiswa veteran, pun hanya bisa tersenyum kecut melihat semua itu.
Paradigma lulus cepat dan IPK diatas rata-rata merupakan paradigma umum di Indonesia, terutama dibenak orang tua. Namun bagi kita para mahasiswa banyak yang berfikiran bahwa masih banyak yang harus di explore lagi dari dunia. Jika lulus hanya sekedar lulus maka tidak akan ada artinya berkuliah.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana banyaknya mahasiswa yang amat tertekan dengan tuntutan-tuntutan ini. Walhasil memang banyak mahasiswa yang lebih memilih mengutamakan kuliah dengan suasana yang cukup mem-boring-kan itu. Dosen-dosen yang masih banyak mengajar dengan cara konvensional dan cenderung hanya berceramah dari awal hingga akhir. Forum diskusi diluar jam perkuliahan juga sepi dari peminat. Semuanya lebih memilih mengerjakan tugas, kuliah, dan menghabiskan waktu dengan hang out ke mall atau ke tempat-tempat hits lainnya.
Sadar bahwa kini banyak mahasiswa yang berfikiran kulgasmol alias kuliah, nugas (mengerjakan tugas), dan pergi ke mall. Aksi-aksi kritis pun kini mulai melemah keberadaannya. Entah ini karena saya sudah memutuskan off dari semua organisasi atau memang kenyataan bahwa sekarang minim aksi nyata dari mahasiswa, yang jelas hingga kini gaung mahasiswa tidak terlalu terdengar.
Menjadi mahasiswa veteran yang tua juga menjadikan saya mengerti dan faham bahwa paradigma yang ada kini adalah salah. Namun apadaya sistem sudah membuatnya seperti itu. Kuliah dengan batasan maksimal 7 tahun banyak membuat perubahan di kalangan mahasiswa. Banyak yang lebih takut di DO (Drop Out atau dikeluarkan secara tidak hormat) ketimbang dosa karena membiarkan sesuatu yang tidak benar telah terjadi.
Lulus cepat harusnya dibandingkan dengan lulus pas pada waktunya. Lulus cepat hanya berorientasi pada nilai yang diberikan dosen, banyak yang berfikiran lulus cepat justru mengabaikan keilmuan secara teori dan praktik sekaligus. Padahal bangku kuliah adalah waktu dimana teori dan praktik bertemu, bersetubuh sehingga mampu diaplikasikan di dunia nyata. Apaguna teori jika tidak bisa diaplikasikan di dunia nyata?
Lulus pas pada waktunya bagi saya lebih enak untuk didoktrin karena si mahasiswa dan dosen sendirilah yang tahu batasan kapan mahasiswa mampu dalam satu teori. Bukankah banyak yang setuju kualitas lebih penting dari kuantitas? Jika memang lebih mementingkan kuantitas maka tidak heran banyak pengangguran dan gaji pegawai dalam negeri yang digaji minim.Â
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat (katanya) harusnya memiliki kedudukan yang tinggi. Jika tidak mampu katakan tidak mampu, jangan dipaksakan untuk mampu. Mesin bisa rusak kalau dipaksa kinerjanya terus menerus. Upgrade perlu dilakukan berkala agar efisiensi kerja bisa maksimal. Jika hanya mementingkan kuantitas dengan mengesampingkan kuantitas kasihan para sarjana yang lulus itu. Mereka hanya menjadi korban keegoisan dari sistem.
Indonesia ini kaya, luas, dan besar. Harusnya negeri seperti ini dikelola dengan mengedepankan pikiran yang majemuk mengingat majemuknya negeri ini. Jangan sampai presiden dijadikan raja yang dianggap titisan Tuhan sehingga apa yang dikatakan, diucapkan, dibuat, ditulis oleh presiden dan menteri-menterinya adalah sabda Tuhan. Kita harus terbuka melihat banyaknya keberagaman. Termasuk terbuka untuk melihat mahasiswa bukan sebagai objek "harus cepat lulus" namun jadikan mahasiswa subjek perubahan. (AWI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H